Peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Dalam rangka memastikan proses pembelajaran berjalan efektif dan sesuai dengan standar yang ditetapkan, sekolah melakukan berbagai bentuk evaluasi akademik. Salah satu bentuk evaluasi yang saat ini banyak diterapkan adalah Tes Kemampuan Akademik (TKA). TKA menjadi instrumen penting untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, serta kemampuan mereka dalam berpikir kritis, menganalisis persoalan, dan memecahkan masalah. Tes ini tidak hanya menguji daya ingat, tetapi juga mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang menjadi tuntutan pembelajaran modern.
Namun, meskipun TKA dirancang untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan, tidak semua pihak menyambut baik penerapannya. Di berbagai sekolah, muncul suara penolakan dari sebagian orang tua dan pemerhati pendidikan. Bahkan, terdapat petisi yang disampaikan untuk menolak pelaksanaan TKA. Penolakan tersebut membawa dinamika tersendiri dalam dunia pendidikan dan menjadi ruang diskusi mengenai pentingnya pendekatan evaluasi yang tepat bagi siswa.
Pada dasarnya, TKA memiliki tujuan utama untuk memetakan kemampuan akademik siswa secara objektif. Melalui hasil tes, guru dapat mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi dan menentukan langkah tindak lanjut yang sesuai, seperti pemberian program remedial bagi siswa yang membutuhkan, atau program pengayaan bagi yang sudah mencapai kompetensi lebih tinggi. Selain itu, TKA juga membantu sekolah dalam mengevaluasi efektivitas metode pembelajaran yang telah diterapkan. Apabila sebagian besar siswa menunjukkan hasil kurang memuaskan, maka sekolah perlu melakukan perbaikan strategi mengajar agar pembelajaran menjadi lebih relevan, menarik, dan sesuai karakteristik peserta didik.
Lebih jauh, pelaksanaan TKA juga mendorong terciptanya budaya belajar yang positif. Ketika siswa terbiasa menghadapi evaluasi akademik secara berkala, mereka akan lebih disiplin dalam belajar dan terdorong untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Kebiasaan ini sangat bermanfaat, terutama bagi siswa yang kelak harus mengikuti seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi. Dengan demikian, sekolah menilai bahwa TKA bukan hanya sarana pengukuran, tetapi juga bagian dari proses pembinaan karakter disiplin dan semangat berprestasi.
Di sisi lain, alasan penolakan dari sebagian kelompok masyarakat juga tidak dapat diabaikan. Sejumlah orang tua berpendapat bahwa TKA dapat menimbulkan tekanan psikologis pada siswa, terutama bagi anak yang memiliki kecemasan dalam menghadapi ujian. Kekhawatiran ini muncul karena dalam beberapa kasus, siswa merasa cemas akan hasil tes dan takut dianggap kurang mampu oleh teman atau orang tua. Selain itu, terdapat pandangan bahwa TKA belum dapat menggambarkan potensi anak secara menyeluruh. Pendidikan ideal, bagi mereka yang menolak, tidak seharusnya hanya mengukur kemampuan akademik semata, tetapi juga perkembangan karakter, kreativitas, serta kemampuan sosial dan emosional.
Ada pula kekhawatiran mengenai ketidaksetaraan kesempatan belajar. Tidak semua siswa memiliki fasilitas dan dukungan belajar yang sama di rumah. Anak yang berasal dari lingkungan dengan keterbatasan sumber belajar berpotensi tertinggal apabila penilaian terlalu berfokus pada kemampuan akademik formal. Di samping itu, beberapa orang tua merasa bahwa nilai rendah dalam TKA dapat menurunkan rasa percaya diri anak, terutama jika perbandingan dengan siswa lain terjadi secara terbuka.
Menanggapi perbedaan pandangan tersebut, sekolah perlu mengambil sikap yang bijak dan terbuka. Sosialisasi mengenai tujuan dan manfaat TKA harus dilakukan secara menyeluruh kepada orang tua, sehingga mereka memahami bahwa evaluasi bukan bertujuan menekan anak, tetapi justru untuk membantu proses perkembangan mereka. Sekolah juga harus memastikan bahwa TKA diimbangi dengan pendekatan pembelajaran dan evaluasi lain yang bersifat holistik, termasuk penilaian sikap, proyek, portofolio, dan keterampilan sosial. Dengan demikian, keberhasilan siswa tidak hanya diukur dari skor tes semata.
Selain itu, sangat penting bagi sekolah untuk menyediakan bimbingan dan dukungan bagi siswa yang kesulitan. Program pendampingan belajar yang sistematis dapat membantu anak mengatasi ketertinggalan akademik. Kesempatan untuk remedial seharusnya menjadi hak siswa, bukan beban tambahan. Dengan pola pendampingan yang baik, TKA justru dapat menjadi sarana mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan belajar sejak dini.
Dinamika penolakan dan dukungan terhadap TKA seharusnya tidak dipandang sebagai konflik, tetapi sebagai proses kolaborasi untuk mewujudkan pendidikan terbaik bagi anak-anak. Kritik dari masyarakat menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan sekadar mengejar angka dan peringkat, tetapi juga membentuk pribadi yang seimbang antara kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan moral. Sekolah, orang tua, dan siswa perlu berada dalam satu visi bahwa evaluasi adalah alat untuk memperbaiki proses pembelajaran, bukan untuk membebani.
Pada akhirnya, pelaksanaan TKA dan evaluasi lainnya di sekolah dapat memberikan manfaat besar apabila dilakukan dengan pendekatan yang tepat, transparan, dan manusiawi. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang menghargai setiap potensi siswa, memberikan kesempatan berkembang bagi semua, serta membangun budaya belajar yang sehat dan berkelanjutan. Dengan sinergi antara semua pihak, TKA dapat menjadi bagian dari strategi peningkatan mutu pendidikan tanpa mengabaikan aspek kesejahteraan siswa. Perbedaan pandangan mengenai TKA seharusnya menjadi dorongan untuk terus memperbaiki sistem pendidikan, bukan alasan untuk saling menyalahkan.
