Langit yang Sama untuk Mimpi yang Berbeda

Karya : Emar Sulastri, SE

Guru SMP Al Muslim

Suara riuh rendah anak-anak dan para orang tua mengisi koridor sekolah siang itu. Hari ini adalah hari pembagian rapor, sebuah momen yang selalu penuh dengan berbagai ekspresi—wajah cemas, senyum lega, hingga obrolan hangat antar wali murid. Saat itu, saya, sedang sibuk menyapa dan menjawab beberapa pertanyaan dari orang tua siswa yang menghampiri saya.

Di tengah keramaian itu, seorang pemuda gagah berpenampilan rapi menghampiri saya. Ia tersenyum ramah dan dengan sopan mengulurkan tangannya.

“Permisi, Bu…” sapanya.

Sejenak saya terdiam, atau lebih tepatnya, bengong. Otak saya berusaha keras memindai dan mencocokkan wajahnya dengan ribuan memori wajah siswa yang pernah saya ajar. Wajahnya terasa tidak asing, tapi ingatan saya seolah buntu. Siapa ya dia?

Saat lamunan saya belum usai, sebuah suara kembali terdengar, “Masih kenal saya, Bu?”

Seketika saya tersadar dari lamunan. “Oh, iya. Maaf, siapa ya, Nak?” tanya saya sambil berusaha tersenyum, sedikit malu karena tidak langsung mengenalinya.

Pemuda itu tersenyum maklum. “Ibu masih ingat beberapa tahun lalu ketika ada seorang anak yang presentasi di depan kelas dan ditertawakan oleh semua anak?”

Saya mengerutkan kening, mencoba mengingat.

Dia melanjutkan, “Anak yang ditertawakan karena katanya… mana ada pilot kulitnya hitam?”

Seketika, sebuah memori dari bertahun-tahun lalu melintas dengan jelas di benak saya.

Flashback ke beberapa tahun yang lalu, di dalam kelas 7 Utsman

Saat itu adalah jam pelajaran Pendidikan Kepemimpinan, dan materi hari itu adalah “Mengenal Cita-Cita”. Saya meminta setiap siswa untuk maju satu per satu dan menceritakan impian mereka di masa depan. Suasana kelas sangat hidup, penuh dengan tawa dan celetukan khas anak-anak remaja.

Hingga tibalah giliran Helmi.

Hilmi adalah seorang anak laki-laki pendiam dengan postur kurus yang agak tinggi. Kulitnya sawo matang, sedikit lebih gelap dari teman-temannya. Satu hal yang saya ingat betul, kulitnya sangat sensitif dan sering gatal-gatal. Tidak jarang saya melihatnya tanpa sadar menggaruk lengan atau lehernya, meninggalkan bekas garukan tangan yang kemerahan di kulitnya yang gelap.

Dengan langkah ragu, ia berdiri di depan kelas. Dengan suara yang sedikit bergetar namun penuh keyakinan, ia berkata, “Cita-cita saya… ingin menjadi seorang pilot.”

Hening sejenak, lalu pecah oleh gelombang tawa kecil yang menyebar ke seluruh penjuru kelas.

“Hahaha, Hilmi mau jadi pilot?” celetuk seorang anak dari bangku belakang.

“Nggak ada tampangnya sama sekali!” timpal yang lain.

Puncaknya adalah ketika seorang anak nyeletuk dengan keras, “Mana ada pilot kulitnya hitam terus penyakitan gitu? Nanti penumpang takut!”

Tawa semakin menjadi-jadi. Wajah Hilmi memerah, tapi saya melihat sesuatu yang luar biasa di matanya. Ia tidak goyah. Ia hanya tersenyum tipis, menatap lurus ke depan seolah tatapannya menembus dinding kelas, menuju langit yang ingin ia jelajahi. Ia tidak marah, tidak membalas, dan tidak menangis. Ia hanya berdiri di sana, memegang teguh mimpinya di tengah cemoohan teman-temannya. Setelah tawa reda, ia menyelesaikan presentasinya dengan tenang dan kembali ke tempat duduknya.

“Oalah… jadi kamu Hilmi?” Suara saya hampir tidak terdengar, penuh dengan rasa kaget dan haru.

Pemuda di hadapan saya mengangguk sambil tersenyum lebar. “Iya, Bu. Ini saya, Hilmi.”

“Masya Allah! Pangling sekali Ibu. Kamu gagah sekali sekarang,” puji saya tulus. “Jadi, sekarang kamu kerja di mana, Nak?”

“Alhamdulillah, Bu, saya diterima di sekolah penerbangan dan sekarang sudah jadi asisten pilot,” jawabnya dengan rendah hati. “Iya, Bu, tapi baru asisten pilot. Insya Allah, tahun depan saya sudah bisa bawa pesawat sendiri, tetapi untuk pesawat yang mengangkut barang dulu.”

Saya tidak bisa menyembunyikan rasa bangga saya. Anak laki-laki kurus dengan kulit gatal yang dulu ditertawakan seisi kelas, kini berdiri di hadapan saya sebagai calon penerbang. Dia telah membuktikan bahwa warna kulit, penampilan fisik, atau cemoohan orang lain sama sekali bukan penghalang untuk meraih mimpi.

Tak lama kemudian, sebuah panggilan dari kejauhan, “Mas Hilmi!” membuatnya menoleh. Seorang anak perempuan kecil, adiknya, melambai ke arahnya.

“Wah, sudah dipanggil,” kata saya.

“Iya, Bu. Saya ke sini kebetulan mengantar Bunda mengambil rapor adik,” jelasnya. “Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Bu. Senang sekali bisa bertemu Ibu lagi.”

“Iya, Hilmi. Ibu juga senang dan bangga sekali sama kamu. Salam untuk Bunda, ya. Semangat terus, calon kapten!”

Hilmi tersenyum, kembali menyalami saya, lalu bergegas menghampiri adik dan ibunya. Saya menatap punggungnya yang tegap menjauh, dan sebuah senyum haru terukir di wajah saya.

Pertemuan singkat itu menjadi pengingat berharga bagi saya sebagai seorang pendidik. Kisah Hilmi adalah bukti nyata bahwa di dalam setiap anak, terlepas dari bagaimana penampilan mereka, tersimpan potensi yang luar biasa. Langit itu cukup luas untuk semua mimpi, dan tidak ada seorang pun yang berhak berkata bahwa seseorang tidak pantas untuk terbang.

Foto tokoh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *