“Bu guru, bolehkah saya membaca Qur’an sebentar saja hari ini? Saya ingin cepet pulang karena ingin mabar (bermain game) sama temen aku.” Pernyataan sederhana seorang murid yang membuat saya terdiam sejenak.

Saya merasakan campuran antara lucu, haru, dan cemas. Di hadapan saya berdiri bukan hanya seorang anak kecil yang ingin bermain, tetapi juga gambaran nyata generasi digital yang tumbuh bersama dengan teknologi.

Sebagai guru Tilawati, saya menghadapi tantangan baru: bagaimana bisa menumbuhkan cinta terhadap Al-Qur’an di tengah kemajuan teknologi yang pesat? Anak-anak di kelas saya sangat pintar dan cepat belajar, namun perhatian mereka terbagi.

Mushaf tampak menjadi saingan gadget di kehidupan mereka. Ketika saya meminta mereka membuka Al-Qur’an, sering kali jari-jari kecil mereka secara otomatis menggulir layar seolah-olah mencari tombol ” next . “Suatu hari, seorang murid bertanya dengan polos, “Bu guru, suara saya terdengar seperti YouTuber tilawah tidak? ” Saya hanya bisa tersenyum. Di dalam hati, saya menyadari bahwa dunia mereka telah berubah, dari selembar kertas hitam-putih menjadi dunia digital yang berwarna dan bergerak.

Oleh karena itu, menolak perkembangan zaman bukannya menjadi solusi.Saya harus menemukan cara untuk menghadirkan cahaya dalam layar itu sendiri (gadget). Saya mulai merenung, bagaimana caranya membuat pembelajaran Al-Qur’an menjadi lebih menarik dibandingkan keseruan bermain game bagi mereka. Bagaimana caranya agar mereka merasa bahagia saat berinteraksi dengan kalam Allah?

Dari situ, saya mulai merancang strategi kecil— menggabungkan semangat digital dengan prinsip-prinsip Qur’ani. Saya mengajak anak-anak untuk membuat presentasi Tilawati: menampilkan surat favorit mereka, menjelaskan maknanya, dan menghiasnya dengan gambar serta animasi. “Bu guru, bolehkah saya menambahkan efek bintang? ” tanya seorang murid. “Boleh, asalkan niatnya untuk mempercantik bacaan Qur’an,” jawab saya.

Saya menyadari bahwa tugas seorang guru bukanlah untuk melawan teknologi, tetapi menjadikannya teman dalam menumbuhkan cinta akan kebaikan. Jika anak-anak bisa belajar hafalan melalui aplikasi, mengapa mereka tidak diarahkan untuk membuat konten sendiri? Kendati, ia juga akan belajar cara mengajarkan bacaannya secara luas?

Saya selalu mengingatkan kepada murid-murid, “Setiap huruf yang kamu baca adalah doa. Allah mendengarnya bahkan sebelum kamu selesai. “Inilah esensi pengajaran Tilawati: tidak hanya sekadar mengucapkan huruf dengan baik, tetapi juga menanamkan makna dan cinta. Mengajar Tilawati di zaman digital memang seperti menanam benih di tanah yang terus berubah.

Namun ketika seorang anak melafalkan “Bismillahirrahmanirrahim” dengan penuh keyakinan, semua rasa lelah itu lenyap. Dari situ, saya melihat mata mereka bersinar kembali. Anak-anak yang dulunya ingin segera pulang kini betah di kelas, sibuk menyusun slide dan merekam video tilawah mereka. Suatu ketika seorang murid berkata, “Bu guru, bolehkah video saya diunggah ke YouTube sekolah supaya Mama bisa melihatnya? ” Saat itu, saya merasakan kehangatan di hati saya. Saya tahu, cahaya kecil baru saja menyala di tengah kilauan layar.

Hari Guru Nasional tahun ini memiliki arti khusus. Tema “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” saya pahami bukan hanya tentang kerja sama antar lembaga, tetapi juga paduan antara nilai-nilai spiritual dan kemajuan teknologi. Seorang guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penjaga cahaya di tengah arus perubahan.

Dari tangan kecil yang sekarang sibuk membuat video Tilawati, saya yakin generasi baru akan lahir: anak-anak yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki jiwa Qur’ani. Keberhasilan seorang guru tidak dinilai dari kemampuannya bersaing dengan teknologi, tetapi dari kemampuannya menanamkan cinta kepada Al-Qur’an dalam hati anak-anak yang hidup dalam dunia digital.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *