Cerita: Belajar Menyambung Cahaya di Laboratorium Fiber Optik SMK Al Muslim

Pagi itu, matahari bersinar lembut di atas gedung SMK Al Muslim. Di ujung kompleks sekolah, bangunan Laboratorium Fiber Optik tampak bersih dan rapi, seolah siap menyambut hari penting. Di dalamnya, delapan siswa kelas XI TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan) sudah berkumpul dengan wajah bersemangat. Hari ini mereka akan melakukan praktik nyata yang sudah lama mereka nantikan: Penyambungan dan Pengujian Kabel Fiber Optik.

Guru pembimbing mereka, Pak Fadli, memasuki ruangan dengan langkah tenang namun berwibawa. Ia mengenakan rompi laboratorium berlogo SMK Al Muslim, membawa clipboard berisi daftar kegiatan.

“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya sambil tersenyum.
“Selamat pagi, Pak Fadli!” jawab mereka serempak, suara mereka memenuhi ruangan.

Pak Fadli menatap satu per satu siswanya — Malik, Allam, Haziq, Ibra, Kido, Andri, Raka, dan Aqso — yang sudah duduk di meja masing-masing. “Baik, hari ini kita akan melakukan praktik fusion splicing dan pengukuran redaman menggunakan OTDR. Ini bukan sekadar praktik biasa, tapi langkah awal kalian menjadi teknisi jaringan profesional.”

Ia menulis di papan tulis:

Praktik: Penyambungan & Pengukuran Fiber Optik
Kelas XI TKJ – SMK Al Muslim
Pembimbing: Pak Fadli

Sebelum praktik dimulai, Pak Fadli menjelaskan teori dasar tentang bagaimana cahaya merambat di dalam serat optik, apa itu redaman, dan mengapa kebersihan menjadi hal paling penting. Siswa menyimak dengan serius, terutama Malik dan Haziq yang selalu antusias bertanya.

 

“Pak,” tanya Haziq, “kenapa redaman bisa tinggi padahal kabelnya kelihatan bagus?”
“Pertanyaan bagus,” jawab Pak Fadli. “Kadang penyebabnya bukan kabel, tapi ujung serat yang kotor, atau sambungan yang tidak sejajar. Itulah kenapa kita harus teliti, bahkan debu sekecil apa pun bisa jadi masalah besar.”

Setelah pengarahan selesai, siswa dibagi menjadi dua kelompok.

  • Kelompok 1: Malik, Allam, Haziq, dan Ibra.
  • Kelompok 2: Kido, Andri, Raka, dan Aqso.

Masing-masing kelompok mendapat satu set alat praktik lengkap: fusion splicer, cleaver, stripping tool, tisu bebas serat, alkohol isopropil, dan potongan kabel fiber optik sepanjang dua meter.

Pak Fadli menegaskan aturan keselamatan: tidak boleh terburu-buru, tidak boleh menyentuh ujung serat dengan tangan kosong, dan harus selalu membersihkan area kerja.

“Baik, kelompok satu mulai dari tahap persiapan kabel. Kelompok dua siapkan alat splicer dan OTDR,” instruksi Pak Fadli.

Suasana laboratorium langsung hidup. Suara cleaver memotong serat, tisu alkohol menyeka debu, dan percakapan teknis terdengar di mana-mana.

Malik, yang dikenal teliti, memimpin kelompoknya. “Allam, kamu pegang kabel, aku yang kupas. Haziq siapkan alkohol, Ibra siapkan potongan sleeve-nya,” katanya sambil bekerja fokus. Mereka bekerja dengan tenang, mengikuti instruksi satu per satu.

Namun di meja sebelah, Kido dan timnya tampak sedikit kesulitan. Saat mengupas kabel, serat di dalamnya patah. “Aduh, Pak, seratnya putus!” seru Raka sambil tertawa kecil.

Pak Fadli menghampiri dan tersenyum. “Santai saja. Serat optik ini memang halus sekali. Coba ulangi, tapi kali ini jangan terlalu menekan. Rasakan saja tekanannya, seperti mengupas kulit pisang, lembut tapi pasti.”

Kido mencoba kembali. Dengan tangan yang lebih tenang, ia berhasil membuka jaket kabel dengan rapi. “Berhasil, Pak!” katanya senang.
“Bagus, itu namanya proses belajar,” ujar Pak Fadli sambil menepuk bahunya.

Sementara itu, kelompok Malik sudah sampai tahap penyambungan menggunakan fusion splicer. Dua ujung serat yang sudah bersih dan dipotong rapi dimasukkan ke dalam dudukan alat. Layar menampilkan gambar dua serat yang saling berhadapan.

“Sekarang, tekan tombol splice,” kata Pak Fadli yang berdiri di belakang mereka.

Seketika, cahaya kecil berkilat di layar — busur listrik menyatukan dua serat menjadi satu. Dalam beberapa detik, proses selesai. Layar menampilkan hasil: Loss 0.04 dB.

“Luar biasa! Ini hasil yang sangat bagus,” puji Pak Fadli. Malik tersenyum bangga, sementara Allam dan Haziq saling tos pelan.
“Berarti kita bisa kerja di Telkom nih, Pak!” celetuk Ibra sambil tertawa, membuat semua tertawa juga.

Setelah itu, giliran kelompok Kido. Mereka lebih hati-hati kali ini. Andri memastikan potongan serat rata, Raka menjaga kebersihan meja, dan Aqso memegang alat splicer. Saat hasil keluar — Loss 0.09 dB — mereka bersorak gembira.
“Masih di bawah 0.1 dB, hebat!” kata Pak Fadli. “Artinya kalian sudah menghasilkan sambungan dengan redaman sangat rendah.”

Langkah selanjutnya adalah pengujian redaman total menggunakan OTDR (Optical Time Domain Reflectometer). Alat canggih ini dapat menampilkan grafik lintasan cahaya di dalam kabel, lengkap dengan titik-titik sambungan dan redaman di setiap segmen.

Pak Fadli memandu siswa menyalakan alat dan menghubungkan kabel hasil penyambungan. Di layar muncul grafik dengan garis menurun lembut dan beberapa puncak kecil.

“Lihat ini,” ujar Pak Fadli, menunjuk layar. “Puncak ini adalah sambungan kalian. Semakin kecil pantulannya, semakin bagus sambungannya.”

Malik mencoba membaca hasilnya. “Panjang total kabel dua meter, redaman 0.06 dB di sambungan pertama.”
“Benar,” kata Pak Fadli. “Kalian sudah mulai bisa menganalisis hasil seperti teknisi profesional.”

Kelompok Kido pun mendapat hasil serupa. Namun di salah satu titik, grafik menunjukkan redaman lebih besar, 0.20 dB. “Kenapa ya, Pak, bisa tinggi di sini?” tanya Raka.
“Coba ingat, apakah kalian membersihkan serat dengan benar sebelum menyambung?”
Kido menggaruk kepala. “Hmm… sepertinya tadi agak buru-buru, Pak.”
“Nah, itu jawabannya,” ujar Pak Fadli tersenyum. “Kebersihan adalah kunci utama dalam dunia fiber optik.”

Setelah semua kelompok selesai, siswa membersihkan alat dan merapikan meja praktik. Laboratorium kembali rapi, tapi di wajah mereka tampak rasa bangga dan puas.

Pak Fadli lalu mengajak mereka duduk bersama di tengah ruangan.
“Apa yang kalian pelajari hari ini?” tanyanya.

Malik menjawab duluan, “Bahwa pekerjaan di bidang jaringan tidak bisa asal-asalan, Pak. Harus presisi.”
Allam menambahkan, “Dan kerja tim itu penting banget. Kalau salah satu tidak fokus, hasilnya bisa kacau.”
Haziq tersenyum, “Saya baru sadar ternyata cahaya pun bisa disambung, asal tahu caranya.”
Kido tertawa kecil, “Dan kalau tidak sabar, seratnya putus duluan.”

Pak Fadli mengangguk, bangga melihat pemahaman mereka. “Bagus, anak-anak. Itulah esensi belajar di SMK. Kalian tidak hanya belajar teori, tapi juga praktik nyata. Dunia industri membutuhkan orang-orang seperti kalian — teliti, sabar, dan mampu bekerja sama.”

Bel tanda istirahat berbunyi pelan. Satu per satu siswa membereskan peralatan, menyimpan alat dengan hati-hati, lalu keluar sambil bercanda ringan. Malik menepuk bahu Haziq, “Lain kali kita bikin rekor redaman 0.02 dB, ya.”
“Siap! Asal kamu yang motong kabelnya,” jawab Haziq sambil tertawa.

Pak Fadli menatap mereka pergi dengan senyum puas. Ia tahu, hari ini bukan sekadar praktik biasa — tapi sebuah langkah kecil yang berarti dalam perjalanan anak-anak itu menuju dunia kerja nyata.

Di atas meja praktik, layar fusion splicer masih menyala, menampilkan tulisan kecil:
“Splice Complete – Loss 0.03 dB.”

Pak Fadli menatapnya sambil berbisik pelan,
“Bagus sekali… kerja keras dan ketelitian mereka sudah mulai berbuah.”

Sore itu, Laboratorium Fiber Optik SMK Al Muslim kembali hening. Namun di balik keheningan itu tersimpan cerita tentang delapan siswa yang belajar menyambung cahaya — bukan hanya cahaya di dalam kabel, tetapi juga cahaya pengetahuan, ketekunan, dan masa depan mereka sendiri.

 

Add Your Heading Text Here

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *