Dua puluh tahun lalu, menjadi guru berarti menjadi sumber tunggal pengetahuan. Guru adalah pusat gravitasi di kelas, dan buku teks dengan cetakan tebal dan halaman yang rapi adalah kiblat utama. Murid-murid saat itu adalah perenang di kolam yang tenang, airnya jernih, dasarnya terlihat jelas, dan setiap gerakan mereka mudah teramati. Lingkungan belajar terasa stabil, terstruktur, dan terprediksi. Namun, kini abad telah berganti. Murid-murid bukan lagi perenang di kolam, melainkan pelaut di lautan digital yang tak terbatas, dimana  informasi mengalir deras tanpa henti. Mereka adalah Generasi Z, atau bahkan Alpha, yang lahir dengan sentuhan layar. Filter pengetahuan berubah setiap detik, kecerdasan buatan berevolusi dengan cepat, dan tantangan yang mereka hadapi kelak bahkan belum kita bayangkan hari ini.

Awalnya, perbedaan ini terasa seperti jurang yang menganga. Betapa terasa asing saat murid berbicara tentang “FYP, thread, atau algoritma”. Metode mengajar paling teruji dahulu seperti ceramah tiga puluh menit dan penugasan ringkasan bab, perlahan kehilangan daya magisnya. Mata – mata murid di ruang kelas itu terlihat kosong, tidak terhubung, seolah pikiran mereka sudah berlayar jauh di platform-platform digital. Guru tidak bisa lagi hanya berdiri di tepi, berteriak memberi instruksi dari daratan. Jika sebagai guru kita memaksa mereka menggunakan peta lama di tengah badai metaverse, kita akan gagal. Kita, guru harus menjadi navigator dan fasilitator bagi  mereka.

Mengajar mereka adalah tantangan dan kehormatan. Murid-murid ini memiliki bahasa visual, logika algoritmik dalam memecahkan masalah, dan kebutuhan nilai diri yang tinggi. Mereka tidak butuh guru yang hanya pandai mengulang materi yang bisa mereka temukan dalam dua detik di mesin pencari. Guru yang mereka butuhkan adalah guru yang pandai bertanya, mendorong mereka untuk mempertanyakan informasi, bukan sekadar menelannya. Guru yang mahir merangkai, membantu mereka merangkai kepingan data menjadi solusi dan narasi yang bermakna. Terakhir, guru yang hadir sepenuhnya, menyediakan empati dan ruang aman di tengah hiruk pikuk dunia maya.

Inilah mengapa pengembangan diri bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan bagi seorang pendidik. Guru harus terus menjadi murid. Guru harus membuka diri terhadap teknologi baru, bahkan jika itu terasa canggung pada awalnya. Guru harus belajar bahasa coding meski mengajar matematika, sosiologi, sejarah, fisika, biologi, dan lainnya. Guru harus memahami dinamika media sosial agar bisa mengaitkan konsep materi dengan fenomena viral hari ini. Guru harus menguasai metode pembelajaran baru yang adaptif, karena kurikulum yang efektif hari ini mungkin usang besok. Pengembangan diri bagi guru adalah sebuah jembatan. Jembatan yang menghubungkan pengalaman masa lalu guru dengan realitas masa depan murid.

Setiap kursus daring yang guru ikuti, setiap buku metodologi baru yang dibaca, setiap eksperimen metode ajar yang dicoba, bukan hanya demi peningkatan karier. Semua itu adalah investasi untuk masa depan murid. ​Ketika guru menunjukkan kemauan untuk berubah, guru tidak hanya mengajarkan materi, tapi mengajarkan ketangguhan, fleksibilitas, dan semangat belajar seumur hidup. Hal ini menunjukan bahwa belajar itu tidak berhenti pada usia tertentu, bahwa adaptasi adalah bentuk tertinggi dari kecerdasan.

Generasi yang kuat bukanlah generasi yang seragam dan patuh. Generasi yang kuat adalah generasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan, melihat ketidakpastian sebagai peluang, berani berinovasi dan menciptakan solusi baru, memiliki karakter moral yang kokoh di tengah kebingungan informasi, serta memiliki ketahanan mental untuk bangkit dari kegagalan. Dan, kekuatan itu lahir dari guru yang bersedia melepaskan kenyamanan masa lalu, mengenakan jubah pembelajar baru, dan memegang erat peran sebagai mentari yang tak pernah lelah bersinar, terus mengembangkan diri agar cahayanya relevan bagi tunas-tunas baru di setiap pagi. Generasi ini adalah cermin seberapa jauh guru mereka mau melangkah. Untuk semua yang menyebut dirinya guru, mari kita melangkah, agar murid bisa terbang tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *