Pagi itu langit belum sepenuhnya biru. Di jendela ruang kelas, matahari meneteskan cahaya tipis seperti tinta emas di atas buku yang terbuka. Anak-anak duduk bersila, menunggu pelajaran dimulai. Di antara mereka, seorang murid bernama Rafa menunduk, matanya redup seperti lampu yang kehilangan minyaknya.

“Kenapa kau diam, Rafa?” tanya Bu Laila, guru Bahasa Inggris yang dikenal lembut namun tajam kata-katanya.

Rafa menatap papan tulis dengan lesu.
“Bahasa Inggris sulit, Bu… seolah bukan untuk saya. Kata-kata itu terasa seperti burung yang tidak bisa saya tangkap.”

Bu Laila tersenyum samar, seolah memahami sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kalimat itu.
“Rafa,” ujarnya pelan, “kau tidak perlu menangkap burung itu. Belajarlah menatap langit tempat ia terbang.”

Hari itu, pelajaran dimulai tanpa tabs, tanpa buku, tanpa catatan, tanpa ujian. Bu Laila membawa anak-anak keluar kelas. Mereka duduk di bawah pohon rambutan yang tengah berbunga.

“Anak-anak,” katanya sambil memandangi daun yang jatuh, “hari ini kita belajar dari semesta. Semesta adalah guru kita, dan kita adalah muridnya. Dengarkan ia berbicara.”

Rafa menatap daun yang melayang jatuh ke tanah.
“Apakah daun juga mengajar, Bu?” tanyanya.

“Ya,” jawab Bu Laila. “Ia mengajar tentang ikhlas. Tentang saatnya memberi ruang bagi yang baru tumbuh.”

Anak-anak terdiam. Angin menggerakkan rambut mereka, dan waktu terasa berhenti sejenak.

Mereka kemudian diajak berjalan ke taman belakang sekolah. Di sana, Bu Laila menugaskan mereka satu hal sederhana:
“Carilah satu benda di sekitar kalian, dan tulislah pelajaran yang bisa kalian ambil darinya , dalam bahasa Inggris.”

Rafa memungut sebuah batu kecil dari tanah. Ia menatapnya lama.
“Miss, this stone is strong… even though it stays silent,” ujarnya pelan.

Bu Laila tersenyum. “Good, Rafa. And what does it teach you?”

Rafa berpikir sejenak. “It teaches me… to be patient. To stay, even when things are hard.”

Senyum Bu Laila melebar. “Then you have just learned more than English, my dear. You have learned life.”

Hari-hari berikutnya, kelas mereka tak lagi seperti biasanya. Belajar tak hanya dari buku, tetapi juga dari hujan yang menetes, dari kupu-kupu yang singgah di jendela, dari suara audio yang mengabarkan dunia luar.

Setiap minggu, satu kelompok siswa membuat project kecil: video, poster, drama , semua dalam Bahasa Inggris, tapi berakar pada kehidupan nyata. Mereka menyebutnya “English in Action.”

Kelas menjadi seperti taman ide. Tawa dan percakapan menggantikan sunyi. Kata “learn” tak lagi berarti “menghafal”, tetapi “menemukan”.

Suatu hari, Rafa berdiri di depan kelas dengan percaya diri yang baru. Ia mempresentasikan proyeknya tentang “The Language of Rain.” Di layar, video sederhana menampilkan tetes air yang jatuh di atas dedaunan.

“Rain teaches us,” ucap Rafa dalam bahasa Inggris yang jernih, “that every drop has its journey — just like us. We fall, we flow, and we grow.”

Ketika ia selesai berbicara, ruangan hening sesaat — lalu disambut tepuk tangan panjang. Bu Laila menunduk, menahan haru. Ia tahu, Rafa bukan sekadar berhasil berbicara dalam bahasa Inggris. Ia telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Sore itu, setelah kelas usai, Rafa menghampiri Bu Laila.
“Bu,” katanya dengan suara yang lirih tapi hangat, “dulu saya takut pada pelajaran Ibu. Tapi sekarang… saya merasa semesta ikut membantu saya belajar.”

Bu Laila menatap langit senja yang membara di jendela.
“Begitulah, Rafa,” ujarnya pelan. “Ketika kau belajar dengan hati, semesta akan menjadi gurumu. Dan aku… hanya daun kecil yang meneduhkanmu sebentar di perjalananmu.”

Rafa tersenyum. “Then, Miss… we are all learning with the universe?”

Bu Laila mengangguk. “Yes, Rafa. Always.”

Tahun berganti. Rafa tumbuh menjadi remaja yang berani bermimpi. Ia sering kembali ke sekolah, bukan lagi sebagai murid, tapi sebagai pembicara muda yang menginspirasi. Ia menulis di papan tulis kalimat yang dulu dia dengar:

“You don’t need to catch the bird, Rafa. Learn to look at the sky where it flies.”

Dan semua murid menatapnya dengan kagum. Hari itu, di antara tawa dan cahaya, co-learning with the universe benar-benar hidup , bukan hanya di ruang kelas, tapi di hati mereka yang pernah belajar untuk memahami, bukan sekadar mengetahui.

Dan semesta pun mencatat di langitnya: bahwa pendidikan sejati bukan tentang siapa yang paling pandai, melainkan tentang siapa yang paling mau mendengar — kepada angin, kepada manusia, kepada dirinya sendiri.

Sebab pada akhirnya, yang belajar bukan hanya anak-anak… tetapi juga guru, dan semesta yang ikut tumbuh bersama mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *