Setiap pagi, langkah – langkah kecil itu berlari memasuki kelas. Suara tawa, teriakan riang, dan sapaan polos “Good morning, Bu Nia!” menyambut hari saya dengan semangat baru. Mereka masih belajar menulis huruf, berhitung sederhana, dan membaca kalimat pendek. Namun bagi saya, mereka bukan sekadar murid kelas satu, mereka adalah calon masa depan bangsa.
Menjadi guru kelas 1 SD Al Muslim bukan hanya tentang mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Ini tentang menanam karakter, membangun percaya diri, dan menumbuhkan cinta belajar. Di sinilah awal perjalanan mereka mengenal dunia. Di tangan guru kelas awal, terbentuk fondasi penting bagi masa depan mereka.
Saya percaya, kekuatan bangsa dimulai dari ruang – ruang kecil seperti kelas kami. Saat anak – anak belajar menyapa dengan sopan, berbagi dengan teman, dan berani mencoba hal baru, di situlah nilai – nilai kebangsaan dan kemandirian mulai tumbuh.
Tentu perjalanan ini tidak selalu mudah. Mengajar anak usia dini memerlukan kesabaran tanpa batas. Ada hari – hari ketika peserta didik enggan menulis, menangis karena rindu rumah, atau berebut tempat duduk. Namun, di balik semua itu tersimpan pelajaran tentang ketulusan. Saya belajar bahwa setiap anak punya cara unik untuk berkembang, dan tugas guru adalah menemani proses itu dengan kesabaran dan cinta.
Di tengan perubahan zaman dan derasnya arus digital, guru kini tidak cukup hanya berdiri di depan kelas. Kami harus kreatif, inovatif, dan adaptif. Di SD Al Muslim, kami didukung perangkat belajar digital berupa tablet Samsung, proyektor interaktif, dan sumber belajar online. Saya memanfaatkan teknologi untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan mendalam seperti video animasi untuk mengenalkan kosakata Bahasa inggris atau permainan interaktif saat belajar matematika.

Namun, secanggih apapun teknologi, tak akan berarti tanpa sentuhan manusia. Guru tetap jiwa dari pendidikan. Dengan adanya kolaborasi antara pemanfaat teknologi dan guru yang interaktif tercipta pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik sehingga peserta didik mampu mempelajari materi dengan cepat, mendalam, bermakna, dan menyenagkan pastinya. Dengan sapaan lembut, pelukan hangat, dan senyum penuh makna, kami membangun kedekatan yang membuat anak – anak berani mencoba dan tidak takut gagal. Sampai tiba saatnya saya melihat peserta didik berani maju kedepan kelas dan berkata,
“My name is Zavier. I am happy today!”
Saya merasa bahwa perjuangan ini tak sia – sia. Di balik kalimat sederhana itu tersimpan kepercayaan diri, hasil dari pembelajaran yang bukan hanya tentang kognitif, tetapi juga emosional dan spiritual.
Bagi saya, guru adalah penyambung cita – cita bangsa. Kami menyalakan cahaya kecil dalam diri anak – anak agar suatu hari mereka bisa menerangi dunia. Guru tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menghidupkan nilai – nilai kehidupan. Dan dibalik guru yang hebat, ada tenaga kependidikan yang luar biasa. Petugas kebersihan yang memastikan ruang belajar nyaman, satpam yang menyambut peserta didik dengan senyum, dan staf administrasi yang sigap melayani orang tua terkait dengan pendataan peserta didik dan sebagainya.
Kami semua, guru dan tenaga kependidikan, bergerak bersama dengan satu tujuan mendidik dengan hati. Menjadi guru bukan sekedar profesi. Ia adalah panggilan jiwa dan bentuk cinta terhadap negeri. Kami mungkin tidak berdiri di podium megah atau tampil di layar televisi, tapi di ruang – ruang kelas kecil itulah kami mencetak generasi unggul dengan 10 profil Yayasan Al Muslim berupa Religius, Integritas, Berani, Kompetitif, Mandiri, Tangguh, Empati, Solutif, Toleran dan Cakap. Saya percaya, jika setiap guru bekerja dengan sepenuh hati, maka bangsa ini akan tumbuh kuat. Karena Indonesia yang hebat dimulai dari guru yang hebat. Dan saya bangga menjadi bagian kecil dari kekuatan besar itu di SD Al Muslim.
