Pelita di Ujung Papan Tulis
Oleh: Rizka Gustiara Rahmah, S.Pd
Guru Kelas 1 Utsman
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Perkenalkan, saya Rizka, guru kelas 1 Utsman. Setiap pagi, langkah kaki kecil yang berlarian di halaman sekolah selalu menjadi sumber semangat saya. Suara tawa yang riang, teriakan kecil penuh keceriaan, dan sapaan hangat, “Selamat pagi, Bu Guru!” adalah energi yang tak tergantikan. Di balik senyum mereka, tersimpan dunia yang polos dan tulus — dunia yang setiap harinya saya jelajahi dengan cinta.
Menjadi guru kelas 1 itu seperti menjadi pelukis di atas kanvas kosong. Setiap anak adalah warna baru yang unik. Ada yang berani menyapa lebih dulu, ada yang masih bersembunyi di balik teman sebangkunya. Ada yang sudah lancar membaca, ada yang masih mengeja satu-satu dengan lidah mungilnya. Tapi di balik semua perbedaan itu, mereka datang dengan satu kesamaan — harapan. Harapan untuk belajar, bermain, dan tumbuh bersama dalam kasih seorang guru.
Di ruang kelas kami yang sederhana, penuh hiasan warna-warni hasil karya tangan mungil mereka, setiap hari menjadi kisah baru. Huruf demi huruf, angka demi angka, kami pelajari dengan sabar. Tidak selalu mudah. Kadang ada tawa, kadang ada air mata. Ada yang kecewa karena hasil tulisannya belum rapi, ada yang bangga menunjukkan huruf pertamanya yang berhasil ditulis sendiri. Namun dari setiap proses itu, saya belajar arti ketulusan dalam mendidik.
Saya masih sangat ingat hari itu. Seorang anak bernama Birru duduk termenung di bangkunya. Pensil di tangannya bergetar, kertasnya masih putih bersih. Wajahnya tampak ragu dan takut salah. Saya mendekat perlahan sambil tersenyum. “Kenapa, Birru?” tanya saya lembut. Ia menunduk, suaranya pelan, “Bu, aku belum bisa menulis lambang dan nama bilangan…”

Saya tersenyum, lalu duduk di sampingnya. Saya genggam tangannya, menuntunnya menulis satu per satu. Garisnya memang masih goyah, hurufnya belum sempurna. Tapi setiap goresan adalah usaha, setiap usaha adalah keberanian. Setelah beberapa kali mencoba, lambang bilangan itu akhirnya terbentuk dengan jelas. Birru menatap saya dengan mata berbinar, senyumnya merekah, “Ibu, aku bisa!”
Kalimat sederhana itu menusuk hati saya. “Bu, aku bisa.” Tidak ada penghargaan yang lebih indah daripada melihat seorang anak percaya pada dirinya sendiri. Saya hampir meneteskan air mata, bukan karena kasihan, tapi karena bangga. Momen kecil seperti itu mengingatkan saya bahwa keberhasilan bukan selalu tentang angka atau nilai, melainkan tentang keberanian mencoba dan pantang menyerah

Di hari-hari berikutnya, saya melihat Birru semakin percaya diri. Ia sering membantu temannya yang kesulitan, dan setiap kali saya meminta untuk menuliskan dipapan tulis, birru sudah sangat berani dan percaya diri saat menulisnya, ia tersenyum puas. Dari satu keberhasilan kecil, lahirlah semangat besar. Itulah keajaiban pendidikan dasar — tempat di mana setiap langkah kecil berarti besar, dan setiap pujian lembut bisa menjadi bahan bakar bagi semangat belajar.
Bagi saya, menjadi guru kelas 1 bukan hanya soal mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Lebih dari itu, saya belajar menjadi pendengar yang sabar, penyemangat yang tulus, dan penuntun hati yang lembut. Setiap anak datang dengan kisahnya sendiri. Ada yang pagi-pagi sudah membantu ibunya sebelum berangkat, ada yang datang terburu-buru karena takut terlambat. Mereka datang membawa dunia kecilnya masing-masing, dan saya berusaha menjadi tempat di mana dunia itu diterima dengan hangat.
Kadang, ketika semua anak sudah pulang, saya duduk sejenak di kelas yang mulai sepi. Di papan tulis masih ada sisa coretan angka dan huruf, di lantai masih berserakan serpihan kertas warna. Di situ saya tersenyum sendiri. Mungkin orang lain melihatnya sebagai pekerjaan biasa, tapi bagi saya, inilah panggilan jiwa. Saya tidak hanya menulis di papan tulis, saya sedang menulis di hati-hati kecil yang akan tumbuh menjadi penerus bangsa.
Spidol di tangan saya memang perlahan habis, tapi cahaya di mata mereka justru semakin terang. Setiap tawa, setiap pelukan kecil, setiap ucapan “terima kasih, Bu Guru,” adalah bahan bakar yang membuat saya terus melangkah. Saya tahu, mungkin saya hanya pelita kecil di ujung papan tulis. Tapi jika setiap guru di negeri ini menyalakan pelitanya, Indonesia akan bercahaya terang.
Saya percaya, GTK yang hebat bukan hanya yang pandai mengajar, tetapi yang mampu menyentuh hati anak didiknya. Guru yang tidak hanya menyiapkan rencana pembelajaran, tapi juga menyiapkan cinta dan kesabaran di setiap pertemuan. Karena dari ruang-ruang kelas kecil seperti ini, lahirlah kekuatan besar untuk negeri tercinta.

Kadang, ketika saya melihat anak-anak baris rapi sambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan semangat, dada saya terasa hangat. Dalam suara mereka yang lantang, saya mendengar masa depan bangsa. Dalam senyum polos mereka, saya melihat harapan yang tumbuh. Dan di sanalah, saya merasa, tugas saya sebagai guru bukan sekadar profesi, tapi pengabdian.
Saya, Rizka, guru kelas 1 Utsman, akan terus menyalakan pelita itu — sekecil apa pun cahayanya,sampai ilmu dan kasih sayang menerangi setiap sudut hati anak-anak Indonesia.
Karena saya percaya, ketika guru menyalakan pelita hatinya, maka masa depan bangsa ini tak akan pernah gelap.
GTK Hebat, Indonesia Kuat!
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
