Catatan dari sudut ruang klub sains, di mana imajinasi bocah kadang lebih eksplosif daripada campuran soda kue dan cuka.

Saya punya cerita. Di “Sains Club” yang saya ampu, ada sekelompok bocah kelas 4 SD yang semangatnya mengalahkan api kompor Bunsen. Saking semangatnya, mereka nyaris kebablasan. Puncaknya adalah ketika mereka nekat mau meracik “ramuan penambah kekuatan” dengan bahan-bahan yang, jujur saja, bikin saya migrain.

Bayangkan saja, teh manis sisa sarapan dicampur dengan air keruh dari pot bunga, lalu ditambah ekstrak daun mangga yang mereka tumbuk sendiri pakai batu.

“Kak, kami mau jadi ilmuwan hebat!” seru salah satu dari mereka, sebut saja Budi, sambil mengangkat botol air mineral yang isinya sudah tidak bisa dideskripsikan lagi warnanya.

Melihat adegan horor-ilmiah itu, saya sebagai mentor yang budiman ini cuma bisa menepuk jidat. Sebelum mereka benar-benar mencampur deterjen dengan sirop marjan, saya putuskan untuk turun tangan. Inilah momen yang tepat untuk memperkenalkan mereka pada penguasa sejati laboratorium.

Bukan, bukan kepala sekolah. Tapi alat-alat lab yang jauh lebih senior dan bijaksana.

“Wahai para calon penemu obat pusing tujuh keliling! Sini merapat!” panggil saya. “Kalian pikir jadi ilmuwan itu cuma modal nekat? Salah besar! Kalian harus sowan dan kenalan dulu sama geng gelas ajaib ini.”

Gelas Beaker Si Gelas Anti-Baper

Perkenalkan, anggota pertama geng ini adalah Gelas Beaker. Jangan samakan dia dengan gelas es teh di warteg, bisa tersinggung nanti. Bentuknya memang mirip, tapi mentalnya sekuat baja.

“Ini namanya Gelas Beaker. Kalau mau keren, panggil saja Beaker,” kata saya sambil mengangkat sebuah gelas bening dengan ‘bibir’ kecil di salah satu sisinya. Anak-anak menatapnya seolah melihat piala dunia.

“Kenapa ada moncongnya, Kak?” tanya Aisyah, anak paling kalem di grup.

“Itu namanya spout, fungsinya biar dia nggak belepotan pas nuang cairan. Dia ini gelas yang punya sopan santun,” jelas saya. “Dia juga gelas anti-baper. Mau kalian isi air panas mendidih, cairan asam, atau ramuan warna-warni buatan kalian, dia bakal terima dengan lapang dada. Anggap saja dia ini mangkoknya para ilmuwan.”

Gelas Ukur: Si Jangkung yang Super Teliti

Kalau Beaker tadi si santai yang serbaguna, beda cerita dengan temannya yang satu ini. Namanya Gelas Ukur. Bodinya jangkung, langsing, dan penuh dengan garis-garis angka. Dia ini tipikal si paling serius dan perfeksionis di geng.

“Lihat, dia ini anti sama yang namanya ‘kira-kira’,” ujar saya sambil menunjuk deretan angka di badannya. “Kalau disuruh ambil air 50 mililiter, ya harus pas di garis angka 50. Nggak boleh kurang, nggak boleh lebih seinci pun. Kalau meleset, dia bisa ngambek dan eksperimen kalian gagal total.”

Budi langsung nyeletuk, “Wah, ribet banget, Kak! Kayak ulangan matematika.”

“Justru di situlah seninya, Bud! Sains itu butuh ketelitian. Gelas ukur ini ngajarin kita buat jadi orang yang presisi dan jujur. Dia ini bendaharanya lab, tugasnya memastikan semua takaran pas dan adil.”

Batang Pengaduk & Corong: Duo Asisten yang Tak Tergantikan

Terakhir, saya kenalkan mereka pada dua asisten yang kelihatannya sepele tapi fungsinya krusial. Yang pertama adalah Batang Pengaduk, sebatang kaca kurus nan elegan.

“Ini tongkat sihirnya para ilmuwan,” kata saya. “Fungsinya jelas, buat mengaduk. Jangan sekali-kali nekat ngaduk larutan kimia pakai jari, kecuali kalian mau jarinya menyala dalam gelap. Pakai ini, aduk perlahan dengan penuh perasaan sampai semua larut sempurna.”

Lalu saya ambil satu alat lagi yang bentuknya seperti topi ulang tahun terbalik. “Dan ini Corong. Dia ini sahabat terbaik buat kalian yang tangannya suka gemetaran pas nuang sesuatu. Dia bertugas memastikan cairan masuk ke wadah yang mulutnya sempit tanpa tumpah sia-sia. Anggap saja dia ini GPS-nya cairan.”

Melihat wajah-wajah polos mereka yang mulai manggut-manggut, saya merasa sedikit lega. Misi penyelamatan dunia dari potensi ledakan di ruang Sains Club hari itu berhasil.

Menjadi ilmuwan itu memang keren, tapi bukan berarti bisa seenaknya. Ada aturan main, ada alat-alat yang harus dihormati fungsinya. Sama seperti main gim, setiap item punya kegunaannya masing-masing.

“Jadi, gimana? Masih mau lanjut bikin ramuan super pakai botol bekas?” pancing saya di akhir sesi.

Mereka serempak menggeleng. “Mau pakai gelas yang tadi aja, Kak! Lebih keren!”

Saya tersenyum. Setidaknya, perkenalan dengan “geng gelas ajaib” ini telah menanamkan satu hal penting: rasa penasaran yang benar, yang dimulai dari menghargai proses dan alat, bukan cuma dari imajinasi liar semata.

“Dulu waktu pertama kali kenalan sama alat lab, kalian paling takjub sama alat yang mana? Coba cerita di kolom komentar!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *