
Dokter anakku adalah muridku, Namanya Mutia, gadis kecil yang lucu berkacamata, sejak di kecil, Mutia sudah ditemani oleh bingkai kacamata tebal. Matanya, yang seharusnya jernih, mulai menangkap dunia dengan kabur. Sebuah kondisi yang membuatnya semakin pendiam. Ya, Mutia adalah anak yang pemalu. Ia cenderung menunduk, menghindari kontak mata, dan suaranya seringkali hanya terdengar seperti bisikan. Kondisi ini diperparah dengan pandangan umum bahwa seorang dokter, apalagi dokter gigi, harus memiliki penglihatan prima dan kepribadian yang supel, ramah, dan percaya diri. “Bagaimana bisa anak sependiam kamu, dengan mata minus sebesar itu, jadi dokter gigi?” bisik beberapa kerabat. Namun, di balik sifat pemalunya, Mutia menyimpan tekad sekuat baja. Cita-citanya menjadi dokter gigi bukan sekadar khayalan, melainkan panggilan hati. Ia ingin membantu orang lain tersenyum tanpa rasa sakit dan percaya diri, sama seperti ia ingin percaya diri dengan dirinya sendiri..
Perjuangan dibalik kacamata, Mutia memilih profesi dokter gigi bermula dari pengalaman masa kecilnya yang sering dibawa berobat. Selain memeriksa mata juga berobat gigi. Pekerjaan dokter menarik perhatiannya, khususnya karena profesi ini tidak hanya menuntut pemahaman mendalam tentang fungsi tubuh, tetapi juga melibatkan penggunaan teknologi dan alat yang beragam. Selain itu, pada usia tiga tahun, ia sering membaca buku tentang tindakan gawat darurat medis milik mamanya, pengalaman itu membuatnya kagum tentang betapa kompleksnya sistem tubuh manusia; infeksi minor pun berpotensi menimbulkan dampak sistemik besar yang termanifestasi melalui berbagai gejala klinis. Di sekolah, minus pada matanya terus bertambah. Ia harus duduk di bangku paling depan agar bisa melihat papan tulis, sebuah posisi yang sering kali membuatnya merasa disorot dan semakin tidak nyaman. Ia berusaha keras membuktikan bahwa kekurangan fisiknya tidak menghalangi otaknya. Ia belajar dengan gigih. Ketika akhirnya ia diterima di Fakultas Kedokteran Gigi, banyak yang terkejut. Namun, tantangan terberat baru dimulai: masa kuliah dan koas (praktik klinik). Di sini, Mutia harus berhadapan langsung dengan pasien, sebuah interaksi yang sangat menguji sifat pemalunya.

Setiap materi tentang anatomi gigi, ilmu kedokteran, hingga kimia, ia lahap hingga larut malam. Cita-cita untuk menjadi dokter gigi sempat tidak memiliki arah yang jelas (blur). Hal ini wajar, mengingat minimnya pemahaman mengenai realita pekerjaan di masa depan. Untuk mengatasi ketidakpastian tersebut, ia mengambil keputusan strategis: mempertahankan nilai di atas rata-rata dan berjuang untuk masuk dalam lima besar di angkatan hal ini diperlukan rutinitas belajar yang berbeda dari teman-teman sejawat. Sejak awal SMA, ia selalu berkomitmen mengorbankan waktu bermain demi belajar lebih giat daripada teman-teman lain, sebuah dedikasi untuk mencapai hasil yang nyata dan melebihi standar. Perjuangan tidak berhenti setelah diterima di universitas; sebaliknya, tantangan sesungguhnya baru dimulai. Diperlukan tekad yang kuat untuk terus maju dalam menghadapi beban akademis yang berat dan tuntutan manajemen waktu yang ketat guna menyelesaikan pendidikan kedokteran gigi. Hal ini terlihat sejak tahun pertama, ketika materi perkuliahan yang belum pernah kami pelajari di SMA mulai disajikan. Jadwal kuliah seringkali berlangsung penuh, dari jam 7 pagi hingga 5 sore, sementara mahasiswa dari fakultas lain sudah dapat bersantai setelah tengah hari, untuk mencapai pencapaian yang tinggi, seseorang harus siap melewati badai ujian yang hebat. Sebab, jika perjalanannya terlalu mudah, semua orang pasti akan berhasil. Ia teringat alasannya menjadi dokter gigi: untuk memberi senyum. Ia mulai melakukan “terapi” kecil untuk dirinya sendiri. Setiap pagi, ia berlatih berbicara di depan cermin, menguatkan intonasinya, dan belajar mempertahankan kontak mata melalui pantulan kacamata tebalnya. Ia fokus pada keahlian klinisnya. Ia melatih ketelitian tangannya untuk menambal gigi dan mencabut dengan minim rasa sakit.
Lensa yang Menjadi Kekuatan
Secara perlahan, pasien mulai merasa nyaman dengannya. Mereka tidak lagi melihat Mutia si gadis pemalu berkacamata, tetapi melihat drg. Mutia yang lembut, teliti, dan sangat hati-hati dalam bekerja. Kehati-hatian yang lahir dari usahanya mengimbangi penglihatannya justru menjadi keunggulannya. Kacamata yang dulu terasa seperti beban, kini berfungsi ganda sebagai pengingat akan ketekunan dan fokus yang harus ia jaga.Tujuan utamanya dalam berkarir sebagai dokter gigi adalah menjadi ahli di bidang spesialisasi tertentu (misalnya, Bedah Mulut, konservasi gigi, orthodontia dan sebagainya), senantiasa mempelajari teknologi dan teknik terkini, serta menghadirkan inovasi dalam perawatan, khususnya di Indonesia. Saya menyadari bahwa teknologi akan selalu berkembang, dan keterbatasan yang ada secara bertahap akan teratasi. Selain itu, saya juga termotivasi untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi, edukasi kesehatan, dan terlibat aktif dalam program kesehatan Masyarakat.

Puncak Inspirasi
Profesi dokter gigi juga memiliki beberapa tantangan yang signifikan. Salah satunya adalah tekanan mental saat menghadapi pasien yang cemas atau memiliki ketakutan berlebih (dental phobia), serta menangani kasus-kasus kompleks yang menuntut konsentrasi tinggi secara berkelanjutan, yang tentu saja sangat menguras energi. Tantangan lainnya adalah kompleksitas kasus. Meskipun sudah berhati-hati, terkadang menghadapi komplikasi atau kasus yang sangat sulit, misalnya pencabutan gigi bungsu yang rumit yang memerlukan waktu berjam-jam dan pengerahan tenaga ekstra. Tantangan yang sering terasa paling berat adalah edukasi dan kesadaran masyarakat; masih banyak pasien yang baru mencari pertolongan ketika penyakit sudah parah. Akibatnya, sulit untuk mengedukasi pasien tentang pentingnya tindakan pencegahan dan kunjungan rutin. Ditambah lagi, tingkat kepatuhan pasien terhadap saran perawatan dan kebersihan mulut juga sering kali menjadi kendala.
Kisah drg. Mutia mengajarkan kita bahwa kekurangan fisik dan sifat alami, seperti rasa malu tidak akan pernah bisa mengalahkan kekuatan sebuah tekad. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk terus melangkah, menemukan cara unik untuk beradaptasi, dan membiarkan passion menjadi motor penggerak.Melalui tangannya, gigi anakku yang sulit diobati ditambal dengan rapi sehingga ketika tes kesehatan sekolah kedinasan meraih stakes 1 setara nilai A. Jika pulang dari asrama ia menyempatkan diri untuk konsultasi gigi. Puluhan bahkan ratusan orang mendapatkan kembali senyum mereka. Dan bagi Mutia, senyum di wajah pasien adalah bukti nyata bahwa tekad yang kuat akan selalu menemukan jalannya, bahkan dari balik lensa kacamata paling tebal sekalipun.Menjalani profesi sebagai dokter gigi tentu menghadirkan sisi suka dan duka. Di ranah kepuasan profesional, terdapat kebahagiaan yang besar dan instan ketika saya berhasil menghilangkan rasa sakit akut yang dialami pasien. Selain itu, ia juga merasakan kelegaan mendalam ketika mampu mengembalikan senyum dan kepercayaan diri pasien melalui tindakan kosmetik dan restoratif (seperti ortodontik, veneer, atau prostetik), yang secara dramatis mempengaruhi penampilan dan kondisi psikologis mereka.
#LombaMenulisGuru
#ceritamuid
#YayasnAlMuslim
#AyoSekolahdiAlmuslim
#ASIKnyaSekolahdiAlMuslim