Dunia Pendidikan  baru-baru ini dihebohkan oleh insiden yang melibatkan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Dini Fitri. Niatnya untuk mendisiplinkan seorang murid yang kedapatan merokok di area kantin sekolah saat kegiatan  Jumat Bersih berakhir tragis.  Dini Fitri diduga melakukan penamparan, yang kemudian viral, dilaporkan ke polisi oleh orang tua murid, dan berujung pada penonaktifan dirinya dari jabatan oleh gubernur Banten.

Peristiwa ini, yang bermula dari tindakan indisipliner sederhana (merokok di sekolah), telah membuka luka lama dalam dunia pendidikan kita,  yaitu keseimbangan antara penegakan disiplin dan perlindungan terhadap hak anak. Lebih jauh, kasus ini menjadi studi kasus yang pedih tentang bagaimana memudarnya adab murid terhadap guru dan berkurangnya kedisplinan murid untuk menaati tata tertib sekolah, telah menciptakan dilema yang mencekik bagi para pendidik.

Menurut laporan, murid tersebut tidak hanya mangkir dari kegiatan “Jumat Bersih” yang bertujuan baik untuk kebersihan sekolah, tetapi juga terlihat santai merokok di kantin. Merokok di lingkungan sekolah adalah pelanggaran tata tertib berat, dan mangkir dari kegiatan wajib adalah pelanggaran adab terhadap tanggung jawab.

Perilaku murid di SMAN 1 Cimarga, merokok di area sekolah (pelanggaran berat) dan mangkir dari tanggung jawab bersama adalah contoh nyata dari hilangnya rasa hormat dan kedisiplinan. Dalam konteks yang lebih luas, banyak pendidik merasakan hilangnya rasa hormat, murid  yang berani menantang otoritas guru, menggunakan bahasa tidak pantas, atau mengabaikan instruksi dan tingkat kepatuhan yang rendah terhadap tata tertib sekolah , membuat proses belajar-mengajar menjadi tidak efektif.

Kasus penamparan ini, meskipun metodenya kontroversial, lahir dari frustrasi yang mendalam para pendidik yang merasa tidak mampu lagi menegakkan disiplin secara efektif di tengah kondisi adab murid yang kian menurun. Pendidik yang berusaha keras mengembalikan disiplin dan adab justru menjadi pihak yang dihukum. Isu fundamental tentang pelanggaran aturan dan kurangnya adab oleh murid pun menjadi terabaikan. Dalam konteks di mana adab, rasa hormat, dan kepatuhan murid kian memudar, tindakan seorang pendidik  sering kali menjadi respons spontan terhadap akumulasi pelanggaran yang diabaikan.

Pendidik yang berupaya menegakkan aturan, demi masa depan dan disiplin murid, justru yang harus menanggung konsekuensi terberat, sementara isu fundamental tentang kurangnya adab dan pelanggaran aturan oleh murid terabaikan.

Kasus SMAN 1 Cimarga menyoroti krisis otoritas yang kini dihadapi guru dan kepala sekolah. Di era digital dan reformasi perlindungan anak, tindakan pendisiplinan sekecil apa pun sangat rentan menjadi viral dan dilaporkan. Jika puluhan tahun lalu ketegasan guru, bahkan dengan sedikit sentuhan fisik yang bersifat mendidik dipandang sebagai bagian dari proses pembentukan karakter, kini batasan itu hilang. Guru berada di posisi serba salah,  diam berarti membiarkan adab memudar,  bertindak tegas berarti menghadapi tuntutan hukum.

Viralnya  kasus ini di media sosial, membuktikan bahwa pengawasan publik (yang seringkali tidak memahami konteks pendidikan) kini lebih cepat dan lebih kuat daripada perlindungan institusi sekolah terhadap tenaga pendidiknya. Ketika murid melihat bahwa pendidik yang mencoba mendisiplinkan mereka justru yang dihukum, ini secara tidak langsung dapat memperburuk kemunduran adab.

Kasus penonaktifan Kepala SMAN 1 Cimarga, Dini Fitri, pasca insiden penamparan siswa yang kedapatan merokok, telah memicu perdebatan sengit di masyarakat. Di tengah dilema antara penegakan disiplin dan perlindungan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hadir memberikan pandangan tegas, menyayangkan tindakan fisik tersebut dan menekankan pentingnya pendekatan yang lebih edukatif dan partisipatif.

Komisioner KPAI, menegaskan bahwa setiap perilaku menyimpang yang dilakukan peserta didik, termasuk merokok dan membolos, seharusnya disikapi dengan pendekatan disiplin positif, bukan hukuman fisik. Pandangan KPAI ini berfungsi sebagai pengingat penting bagi institusi pendidikan bahwa meskipun adab murid kian memudar dan tantangan disiplin semakin berat, solusi kekerasan fisik atau verbal bukanlah jalan keluar yang dibenarkan. (sumber : detiknews: 15 Oktober 2025)

KPAI secara implisit mendorong guru untuk Menguasai Teknik Disiplin Positif. Pihak Sekolah harus melatih guru dan kepala sekolah dalam menerapkan metode penanganan masalah non kekerasan. Kemudian memperkuat mekanisme komunikasi antara sekolah dan orang tua agar isu indisipliner dapat ditangani secara internal dan kolaboratif sebelum menjadi konflik hukum. Kasus ini menunjukkan bahwa sekolah tidak bisa berdiri sendiri. Orang tua harus menjadi mitra aktif dalam penanaman adab, bukan sekadar pelapor saat anaknya didisiplinkan. Reaksi orang tua yang melaporkan kasus tersebut ke polisi dapat diartikan sebagai hilangnya kepercayaan dan kemitraan antara sekolah dan keluarga dalam proses mendidik

Pada akhirnya, kasus SMAN 1 Cimarga adalah dilema pahit yang mempertemukan niat baik pendisiplinan guru dengan hak-hak siswa yang dilindungi undang-undang. KPAI menegaskan bahwa proses pendidikan harus dilakukan dengan cara yang menghormati martabat anak, memastikan mereka belajar dari kesalahan melalui kesadaran dan pemulihan, bukan ketakutan dan rasa sakit.

Jika kita terus membiarkan otoritas guru terkikis oleh rasa takut, dan membiarkan adab murid memudar tanpa mekanisme pendisiplinan yang efektif dan didukung, maka kita sedang menghancurkan masa depan pendidikan karakter bangsa secara perlahan. Niat baik kepala sekolah itu seharusnya dijadikan titik awal untuk merehabilitasi sistem, bukan hanya menghukum individu.

Mendengarkan suara pendidik berarti memberikan mereka alat hukum yang jelas dan tegas untuk melindungi integritas dan fungsi utama sekolah, tempat di mana disiplin dan adab dihormati. Hanya dengan perisai hukum yang kuat, guru dapat mendidik dengan percaya diri, dan murid dapat tumbuh dengan karakter yang kuat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *