Mama, predikat itu melekat pada diriku saat ini. Melihat perjalanan dan keseharian mereka yang kusebut “nak” di sekolah ini membuatku teringat akan tingkah lakuku di masa lampau.

Sepertinya aku pernah berpikir, kenapa sih hidupku seperti ini? Aku ingin pergi dari rumah. Mama dan Bapak tidak sayang padaku. Aku merasa bukan anak mereka. Mereka tidak mengerti aku. Dan sepertinya masih banyak hal lain yang, ah, tidak bisa aku tulis karena malu. Ya, malu karena sadar betapa cengeng diriku saat itu.

Aku menjadi orang tua bukan dari proses belajar formal, bahkan aku belajar menjadi orang tua dari anakku. Hal inilah yang kusadari, bahwa demikian pula dengan kedua orang tuaku: mereka belajar menjadi ibu dan bapak ketika aku lahir.

Dulu aku berpikir mereka banyak salah, ternyata akulah yang tidak mampu melihat kebenaran dari hal yang kuanggap salah itu. Oh, betapa mirisnya, karena kesadaranku baru muncul setelah bertahun-tahun, setelah banyak luka yang telah kuberikan kepada orang tuaku.

Allah SWT Maha Adil. Tuhanku memberiku kesempatan untuk menebus kesalahanku itu melalui kesadaran-kesadaran yang Dia kehendaki dan melalui jalan pengabdian kepada sesama: pengabdian sebagai seorang anak, pengabdian sebagai seorang ibu, pengabdian sebagai pekerja, dan pengabdian sebagai pendidik.

Untuk kasih sayang yang dulu tersimpan dan tak pernah kuucapkan di masa lampau, aku persembahkan:

Puisi untukmu, Mama…

Ibu, wanita yang terkadang membuatku marah.
Amarahmu terkadang sangat menyakitkanku.
Ingin rasanya pergi jika dirimu mulai mengomel,
ingin rasanya tak bertemu.

Ibu, sosok yang terkadang tak ingin kutemui.
Kapan khawatirmu terhenti, Bu? Aku sudah besar.
Capek aku dengar omelanmu.
Kapan engkau akan mengerti aku?

Tapi Kini, jangankan suaramu, senyummu pun tak tampak lagi.
Hadirmu ada, tapi terasa jauh dariku, Bu.
Senyum dan tawamu tiada yang tersisa.
Lembut belaianmu tinggal ingatan.
Hangat pelukmu tak terasa,
pergi bersama diam dan kecewamu.

Aku rindu sapaanmu, Bu.
Rindu omelanmu, rindu khawatirmu.
Rindu halus tanganmu,
rindu hangat pelukmu
yang kau simpan bersama kecewamu kepadaku.

Maaf atas air matamu yang jatuh.
Maaf atas amarahku yang terlontar.
Maaf karena penyesalanku hanya tersimpan di hati.
Maaf atas kasih sayangku yang hanya sepenggal kata.

Engkau wanita hebat di hidupku.
Bahagia selalu untukmu, meski bahagiamu bukan dariku.

Dan untukmu, sosok yang tidak hadir saat kelahiranku, namun membersamaiku hingga predikat “Mama” melekat padaku. Untukmu, Almarhum Bapakku.

Aku bersaksi sungguh dirimu adalah Bapak yang amanah.Maaf atas sayang yang tidak pernah terucap dari bibirku sampai hembusan napas terakhirmu. Semoga Allah SWT merahmati seluruh hidupmu. Aku persembahkan puisi ini untukmu, Bapak.

Desember

Desember itu,
tampak jelas semangatmu.
Desember itu,
terlihat nyata ketegaranmu.
Desember itu,
kau berikan senyuman untukku—
senyum ketidakberdayaan,
senyum kepasrahan.

Desember itu,
berkendara denganmu terakhir kali.
Takut saat itu awal rasa kehilangan
yang tak kusadari—
kehilangan jiwa ragamu.

Desember itu,
aku kehilangan dirimu.
Aku kehilangan suaramu.
Aku kehilangan hadirmu.
Aku kehilangan jiwa ragamu—
kehilangan yang entah kapan bertepi.

Aku rindu candamu.
Aku rindu tawamu.
Aku rindu keras suaramu.
Aku rindu amarahmu.
Aku rindu hadirmu—
hadirmu di hadapanku.

Aku adalah saksi kebaikanmu.
Aku adalah saksi kasih sayangmu.
Aku adalah bukti baktimu sebagai ayah.

Maaf, sayang itu terlambat kuucapkan.
Maaf, kasih sayangku untukmu tak sempurna.
Maaf, hadirku ada hanya di akhir usiamu.
Maaf, sabarku dangkal—
sedangkal kasih sayangku.

Di mana pun dirimu,
rindu tentangmu tak pernah pergi.

Ita ANggraini

Jum’at, 3 Oktober 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *