Kita semua pasti pernah… duduk di bioskop, lampu meredup, layar menampilkan logo Pixar dengan si lampu meja yang loncat-loncat itu. Tiga puluh menit kemudian, kita sudah sesenggukan. Entah itu melihat mainan koboi yang takut dilupakan, ikan badut yang overprotective sama anaknya, atau robot pemilah sampah yang kesepian di bumi.

Sialan. Kenapa mereka jago sekali mengaduk-aduk emosi kita? Kenapa cerita tentang ikan, monster, atau mobil bisa terasa lebih manusiawi daripada curhatan teman kita sendiri?

Kita sering berpikir bahwa cerita-cerita ini brilian karena kompleksitasnya, karena dunia ajaib yang mereka bangun. Kita terkagum-kagum pada animasinya yang smooth banget sampai pori-pori si Kakek Carl di film “Up” kelihatan lebih jelas daripada masa depan kita.

Tapi, bagaimana jika saya beri tahu Anda bahwa rahasia dapur mereka, resep rahasia yang membuat “Finding Nemo” hingga “Toy Story” terasa begitu “kena”, sebenarnya sesederhana itu? Saking sederhananya, resep ini bisa diringkas hanya dalam enam (atau tujuh, tergantung siapa yang Kamu tanya) kalimat.

Ini bukan teori konspirasi. Ini adalah “Pixar Story Spine”, sebuah kerangka cerita dasar yang dibocorkan oleh Emma Coats, mantan story artist di Pixar. Ini adalah mantra yang mereka gunakan untuk memastikan cerita mereka tidak melempem di tengah jalan.

Dan inilah ajiannya:

  1. Dahulu kala, ada… (Protagonis)
  2. Setiap hari, dia… (Rutinitas/Status Quo)
  3. Sampai suatu hari… (Insiden Pemicu/Konflik)
  4. Karena itu… (Konsekuensi 1 / Awal Perjalanan)
  5. Karena itu… (Konsekuensi 2 / Rintangan)
  6. Hingga akhirnya… (Klimaks/Resolusi)
  7. (Opsional tapi penting) Dan sejak saat itu… (Dunia Baru/Pelajaran)

“Halah, gitu doang? Kayak pelajaran Bahasa Indonesia zaman SD!”

Tunggu dulu, Bos. Jangan skeptis dulu. Mari kita bedah.

Ambil contoh “Finding Nemo”.

  1. Dahulu kala, ada… seekor ikan badut bernama Marlin yang trauma berat karena kehilangan istri dan hampir semua telurnya, kecuali satu: Nemo.
  2. Setiap hari, dia… sangat overprotective terhadap Nemo, melarangnya melakukan apa pun yang berbahaya.
  3. Sampai suatu hari… Nemo, karena kesal dikekang, nekat berenang ke laut lepas dan… HAP! Diculik penyelam.
  4. Karena itu… Marlin, si ikan penakut yang nggak pernah keluar dari anemonnya, nekat menyeberangi samudra untuk mencari anaknya.
  5. Karena itu… dia bertemu Dory, berhadapan dengan hiu yang lagi diet, menerobos ubur-ubur, dan numpang di punggung kura-kura surfer.
  6. Hingga akhirnya… dia berhasil menemukan Nemo di Sydney, setelah melalui drama di klinik dokter gigi.
  7. Dan sejak saat itu… Marlin belajar untuk percaya pada anaknya, dan Nemo belajar bahwa bapaknya nekat juga kalau lagi panik.

Lihat? Pas banget. Coba lagi di “Toy Story” (yang pertama).

  1. Dahulu kala, ada… mainan koboi bernama Woody, yang merupakan mainan favorit Andy.
  2. Setiap hari, dia… menikmati posisinya sebagai pemimpin para mainan di kamar Andy.
  3. Sampai suatu hari… Andy dapat kado ulang tahun mainan baru yang canggih: Buzz Lightyear.
  4. Karena itu… Woody cemburu berat dan berusaha menyingkirkan Buzz.
  5. Karena itu… mereka berdua malah tersesat di dunia luar dan ditangkap oleh Sid, si bocah psikopat perusak mainan.
  6. Hingga akhirnya… Woody dan Buzz harus bekerja sama untuk kabur dari rumah Sid dan kembali ke Andy.
  7. Dan sejak saat itu… Woody sadar bahwa “dicintai” itu bisa dibagi-bagi, dan dia punya sahabat baru (yang bisa terbang… semacam).

Kenapa rumus sederhana ini begitu powerful?

Karena rumus ini tidak fokus pada kejadian. Rumus ini fokus pada PERUBAHAN.

Perhatikan struktur ini: “Setiap hari…” (kebiasaan) lalu “Sampai suatu hari…” (kebiasaan dirusak). Ini adalah titik di mana zona nyaman si karakter diobrak-abrik. Dan dua mantra paling penting adalah: “Karena itu…”

Kata “karena itu” adalah jantungnya. Ini adalah rantai sebab-akibat. Cerita yang bagus bukan sekadar “Ini terjadi, LALU ini terjadi, LALU ini terjadi.” Itu mah daftar belanjaan. Cerita yang bagus adalah “Ini terjadi, KARENA ITU ini terjadi, KARENA ITU terjadilah hal yang lebih runyam.”

Ini yang membedakan naskah Pixar dengan, maaf-maaf nih, beberapa sinetron kita yang karakternya tiba-tiba amnesia setelah kesandung batu, tanpa alasan yang jelas selain biar episodenya bisa diperpanjang 100 episode lagi.

Di Pixar, setiap aksi punya reaksi. Marlin nekat karena Nemo hilang. Woody harus kerja sama karena dia egois di awal.

Struktur ini, pada dasarnya, adalah struktur kehidupan kita sendiri.

Coba saja Anda pakai rumus ini untuk menceritakan kisah hidup Anda.

  1. Dahulu kala, ada… saya, seorang mahasiswa idealis yang merasa bisa mengubah dunia.
  2. Setiap hari, saya… kuliah, nongkrong di warkop, dan mengeluhkan pemerintah.
  3. Sampai suatu hari… saya lulus dan sadar cari kerja itu susahnya minta ampun.
  4. Karena itu… saya terpaksa mengambil pekerjaan apa saja, termasuk jadi admin online shop yang bosnya galak.
  5. Karena itu… saya belajar skill baru di luar jam kerja, menabung, dan membangun jaringan.
  6. Hingga akhirnya… saya memberanikan diri resign dan membangun usaha kecil-kecilan saya sendiri.
  7. Dan sejak saat itu… saya sadar bahwa mengubah dunia itu kemaki, mending ubah nasib sendiri dulu.

Tuh, kan? Hidup kita sendiri ternyata cukup “Pixar” juga.

Jadi, lain kali Anda menonton film dan merasa related banget, ingatlah bahwa Anda tidak sedang terkoneksi dengan ikan atau robot. Anda sedang terkoneksi dengan pola paling dasar dari sebuah perubahan: dari nyaman, kena masalah, berjuang, lalu bertumbuh.

Pixar hanya membungkus pola itu dengan animasi yang cantik dan musik yang bikin mbrebes mili. Dan tentu saja, menjual merchandise-nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *