
Dari Seorang Guru yang Pernah Hampir Menyerah
Saya pernah ada di titik di mana saya yakin suara saya adalah jenis suara dengan frekuensi yang paling pas untuk jadi lagu nina bobo. Bukan karena merdu, tentu saja. Tapi karena setiap kali saya mulai menjelaskan di depan kelas, terutama di jam-jam rawan setelah istirahat siang, saya bisa melihat satu per satu nyawa murid saya seperti ditarik perlahan dari raganya. Mata mereka kosong, sebagian menatap nanar ke luar jendela, sebagian lagi sudah masuk ke mode screen saver.
Di papan tulis, saya sedang seru-serunya menjelaskan kronologi Perang Diponegoro. Lengkap dengan panah-panah, tahun-tahun penting, dan nama-nama tokoh yang kalau disebut tiga kali di depan cermin mungkin bisa muncul. Tapi di hadapan saya, yang tampak adalah barisan calon korban wabah zombi. Lesu, tak bergairah, dan sepertinya lebih tertarik menghitung jumlah keramik di lantai kelas.
Setiap akhir sesi, pertanyaan pamungkas saya, “Ada yang mau ditanyakan?” selalu disambut dengan keheningan paling khusyuk yang pernah ada di muka bumi. Seisi kelas kompak diam. Entah karena sudah paham semua (“mimpi!”), atau memang tidak ada yang tahu mau bertanya apa karena sejak tadi pikiran mereka sudah berkelana ke kantin atau bahkan ke turnamen MPL.
Saya mumet, jujur saja, rasanya seperti gagal menjadi guru. Materi sudah saya siapkan semalaman bahkan dari jauh-jauh hari, slide presentasi sudah saya hias walau norak sedikit, tapi hasilnya nihil. Energi saya terkuras bukan untuk mengajar, tapi untuk melawan rasa kantuk kolektif. Ambyar…
Malamnya, sambil mengaduk kopi yang mungkin sudah ke-lima belas kalinya hari itu, saya iseng scrolling mencari cara-cara aneh bin ajaib untuk membuat kelas lebih hidup. Muncullah satu kata yang awalnya saya pandang sebelah mata: Gamifikasi.
Pikiran pertama saya, “Halah, apa-apaan ini? Belajar kok disuruh main gim? Nanti malah pada mabar beneran.”
Tapi karena putus asa adalah salah satu bahan bakar terbaik untuk kreativitas, saya coba dalami. Ternyata, gamifikasi bukan berarti mengubah kelas jadi arena bermain gim. Bukan. Konsepnya lebih njlimet tapi sekaligus lebih brilian. Ini tentang meminjam elemen-elemen yang bikin gim itu candu—seperti poin, lencana (badge), papan peringkat (leaderboard), dan misi (quest)—lalu menerapkannya ke dalam proses pembelajaran.
Idenya sederhana: Manusia itu suka tantangan, suka pengakuan, dan suka melihat progres. Gim memanfaatkan tiga hal itu dengan sempurna. Kenapa pembelajaran tidak bisa?
Maka, dimulailah eksperimen saya.
Pertama, saya ubah silabus dan tugas-tugas menjadi sebuah “Peta Misi” atau “Quest Map”. Tugas membaca bab 3 tentang Kerajaan Majapahit saya ganti namanya menjadi “Misi: Menaklukkan Benteng Pengetahuan Gajah Mada”. Setiap sub-bab adalah checkpoint yang harus mereka lewati. Mengerjakan rangkuman tidak lagi disebut PR, tapi “Mengumpulkan Artefak Kuno”.
Kedua, saya perkenalkan sistem Experience Points (XP). Setiap kali ada yang berani menjawab pertanyaan (benar atau salah, urusan belakang), mereka dapat +10 XP. Menyelesaikan “misi” tepat waktu dapat +50 XP. Membantu teman yang kesulitan, dapat bonus +20 XP “Karma Baik”. Semua XP ini saya catat di sebuah “Leaderboard” sederhana yang saya tempel di mading kelas.
Awalnya mereka canggung. “Beneran nih, Pak, dapat poin?” tanya salah satu murid saya yang biasanya paling hobi duduk di pojok belakang.
“Beneran. Nanti yang XP-nya paling tinggi di akhir bulan, dapat title ‘Sang Penakluk Sejarah’ dan boleh minta traktiran es teh dari Bapak,” jawab saya sekenanya.
Di luar dugaan, sistem sederhana ini bekerja seperti sihir.
Anak yang tadinya pasif, tiba-tiba berebut angkat tangan untuk menjawab pertanyaan demi +10 XP. Mereka mulai membentuk “gilda/guild” atau kelompok belajar untuk menyelesaikan “misi” bersama-sama. Papan peringkat yang tadinya saya anggap hiasan, kini setiap pagi mereka kerubungi untuk melihat siapa yang memimpin. Ada persaingan, tapi persaingan yang sehat dan, anehnya, menyenangkan.
Puncaknya adalah ketika saya memberikan sebuah “Misi Utama” yang cukup sulit: membuat presentasi kreatif tentang jalur rempah. Alih-alih mengeluh, mereka justru berdiskusi soal strategi.
“Eh, kelompok kita fokus ke infografis aja biar dapet ‘Badge Kreatif’,” kata salah satu dari mereka.
“Jangan lupa, kita harus selesaikan sebelum deadline biar dapet bonus XP ‘Tepat Waktu’!” timpal yang lain.
Saya yang mendengar dari meja guru cuma bisa senyum-senyum sendiri. Istilah-istilah yang biasanya mereka pakai saat main gim, kini mereka gunakan untuk membahas pelajaran Sejarah. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai beban, tapi sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, level yang harus dilewati.
Kelas saya memang tidak berubah 180 derajat jadi sempurna. Masih ada satu-dua yang kadang mager. Tapi setidaknya, kini tidak ada lagi pemandangan zombi. Yang ada adalah sekelompok petualang yang siap memulai “misi” baru setiap harinya. Mata mereka yang tadinya kosong, kini berbinar karena ada target XP yang harus dikejar.
Menjadi guru itu ternyata bukan cuma soal mentransfer ilmu dari buku paket ke kepala murid. Terkadang, kita juga harus menjadi seorang Game Master yang andal; merancang permainan yang seru, menetapkan aturan yang adil, dan memberikan hadiah yang sepadan atas setiap pencapaian.
Dan melihat mereka bersemangat menaklukkan “Benteng Pengetahuan Diponegoro” seolah-olah itu adalah base musuh di Land of Dawn, di situ saya merasa misi saya sebagai guru, setidaknya untuk hari itu, mission complete.