Tidak semua jalan menuju keberhasilan harus jauh dari asal. Beberapa orang memilih untuk kembali, bukan karena tidak ada pilihan lain, tapi karena cinta yang dalam terhadap tempat yang telah membentuk mereka.

Ini adalah cerita tentang Sukaesih, sosok yang mungkin terlihat biasa bagi banyak orang tetapi memiliki kekuatan yang luar biasa: kekuatan untuk kembali mencerahkan dan melayani dengan hati.

Mengunjungi Tempat yang Membentuk Mimpi

“Dulu Saya adalah lulusan SMK Al Muslim,” katanya sambil menyunggingkan senyum kecil yang penuh kenangan.Pernyataan itu sederhana, tetapi terasa hangat. Sukaesih adalah contoh nyata dari siklus hidup yang menakjubkan: dulu sebagai siswi, kini ia berdiri di depan kelas sebagai pengajar.

Bagi Sukaesih, Al Muslim bukan hanya sekedar tempat belajar. Ini merupakan rumah kedua, tempat pertama kali belajar tentang tanggung jawab, disiplin, leadership, dan ketulusan. Tempat dimana ia di tempa menjadi manusia berkarakter. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia mencoba berkarir di bidang lain, tetapi di tengah kesibukan itu, ada sesuatu yang kurang.“Saya merindukan suasana sekolah, merindukan interaksi yang penuh makna dengan siswa,” ungkapnya.

Akhirnya, ia mengikuti panggilan hatinya untuk kembali ke Al Muslim. Kini, ia bukan pelajar lagi, tetapi seorang guru yang membawa semangat agent of change untuk generasi berikutnya.

“Dulu Saya Berada di Bangku Itu…”

Saat pertama kali mengajar di sekolahnya yang lama, kecemasan tidak bisa dielakkan.“Rasanya seperti canggung, dulu saya siswa, sekarang saya berdiri di depan kelas yang sama,” katanya sambil tertawa kecil. Namun, dari kecemasan tersebut muncul rasa empati yang mendalam. Dia sangat memahami bagaimana rasanya menjadi siswa: semangat yang naik turun, takut membuat kesalahan, dan usaha memahami materi pelajaran.

“Karena saya pernah mengalami hal yang sama, saya bisa lebih mengerti. Saya tidak hanya mengajar dengan metode, tetapi juga dengan perasaan,” jelasnya pelan.

Itu bukanlah sekadar kata-kata. Banyak siswa yang mengatakan bahwa Bu Sukaesih adalah guru yang sabar dan dekat. Ia tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga mendengarkan, membimbing, dan mendampingi siswa yang berjuang di luar jam pelajaran.“Kadang saya duduk di taman, mendengarkan cerita anak-anak. Mereka butuh ruang untuk berbagi,” tuturnya.

Pembelajaran Tak Pernah Berakhir

Meskipun ia sudah mengajar sejak tahun 1993, Sukaesih tidak pernah berhenti untuk belajar dan upgrade ilmu. Ia sering membawa buku, mengikuti pelatihan, atau berdiskusi dengan teman sejawat. “Jika saya ingin siswa saya terus belajar, saya pun harus melakukan hal yang sama,” ujarnya dengan tegas.

Sekarang, dengan integritasnya yang kuat ia menjabat sebagai Kaur PTK (Kepala Urusan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dan juga mengajar Leadership, sesuatu yang sangat sesuai dengan semangatnya. “Leadership bisa membuat kita positif, mandiri, survival dengan situasi kondisi apapun. Ini adalah bekal penting bagi anak-anak. Mereka harus dapat bertahan dan berpikir maju dalam situasi apapun,” tambahnya.

Di tengah percakapan, ia mengutip prinsip yang sangat dipegang teguh nya:“Manusia terbaik adalah mereka yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Jadilah orang yang memberi warna, bukan yang diwarnai. Tetaplah berbuat baik, walaupun banyak yang bersikap tidak baik. ”

Pernyataan itu seperti napas dalam kesehariannya. Ia tidak hanya mengajar dengan pengetahuan, tetapi juga dengan teladan, seperti filosofi Ki Hajar Dewantara yang selalu ia junjung tinggi:

Di depan memberi contoh, di tengah membangkitkan semangat, dan di belakang memberikan dorongan. “Filosofi itu sangat relevan hingga saat ini,” ucapnya. “Seorang guru tidak hanya berfungsi sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing — membantu siswa menemukan arah hidup mereka sendiri. “

Akar yang Menjaga Generasi

Ketika melihat seseorang seperti Sukaesih, kita diingatkan bahwa pencapaian sejati bukan hanya tentang posisi atau uang. Ada kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan: menyaksikan siswa berkembang dan mencapai sukses.

“Setiap orang memiliki semangat juang yang berbeda, ketika kita gagal jangan pernah menyalahkan orang lain, tapi lihat diri kita sendiri, apakah kita sudah maksimal? Dan ketika kita punya masalah itu pasti ada solusinya.” tutupnya saat percakapan berakhir. Pernyataan ini sederhana, namun penuh makna. Dia meyakini, setiap anak memiliki kemampuan — tugas guru adalah membantu mereka menemukannya.

Sukaesih menunjukkan bahwa pemuda yang hebat bukan hanya mereka yang pergi untuk menjelajahi dunia, tetapi juga mereka yang kembali untuk memperkuat akar tempat mereka berasal. Indonesia memerlukan orang-orang yang tidak hanya berlari menuju puncak, tetapi juga mereka yang menjaga akar tetap kuat.

Kini, setiap kali ia berada di depan kelas, mungkin sebagian siswa tidak menyadari bahwa guru di depan mereka dulunya juga pernah duduk di bangku yang sama. Namun bagi Sukaesih, itu adalah bagian terindah dari perjalanan hidupnya — dari seorang siswa yang belajar, menjadi guru yang terus menerangi jiwa.Dan selama masih ada sosok seperti Sukaesih dalam dunia pendidikan, semangat pengabdian itu akan selalu ada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *