Orang-orang bertahan di suatu pekerjaan dengan alasan yang masuk akal. Gaji gendut, jenjang karier yang jelas, atau kantin yang nasgor telornya bikin nagih. Tapi, aku masih betah. Bahkan, mungkin, sedikit terlalu bahagia untuk standar orang kebanyakan.

Aku? Aku bertahan karena sepetak rumput. Ya, yang kamu baca memang bener. Rumput. Bukan yang hijau bak lapangan golf, apalagi yang kinclong kayak di brosur properti mahal. Ini rumput lokal—kadang hijau semangat, kadang cokelat kering karena kejemur matahari, diselaki semak liar yang tumbuh semaunya, dan dijaga sama Pak Satpam yang lebih sering melamun daripada menyiram.

Setiap pagi, ritual harian dimulai bukan dari meja kerja, tapi dari parkiran motor. Dari sana, ada sebuah “perjalanan wajib” sejauh 50 meter menuju gedung kantor. Dan di 50 meter itulah, seluruh perspektif hari itu ditata ulang.

Aku harus melewati hamparan rumput itu. Ini bukan sekadar motong jalan biar cepat sampai. Ini lebih seperti semacam salaman halus dengan alam. Gesek-gesek alas sepatu usang sebagai bentuk sapaan, “Hey, gue datang lagi, guys.”

Di detik-detik pertama, kaki masih berat bawaan malas dari rumah. Kepala masih dipenuhi utang mimpi, email yang nunggu dibales, dan deadline yang menggerutu di kalender.

Tapi kemudian, mata ini menangkap mereka: helai-rumput yang masih basah embun pagi. Ada yang tegak berdiri kayak lagi semangat hadapi hari, ada yang rebah tak tentu arah—persis seperti isi kepala. Kadang, seekor belalang sembah lagi asik meditasi di atasnya. Atau barisan semut rapi bawa sisa-sisa makanan ringan yang jatuh semalam.

Sinar matahari nyelinap di sela daun, kasih highlight keemasan. Gemerisik dedaunan ditusuk sepatu bututku yang sudah uzur. It’s stupidly poetic. Dan yang paling penting: gratis.

Rumput-rumput itu punya dunianya sendiri. Mereka nggak peduli sama target kuartalan, meeting online yang molor, atau drama politik kantor yang lebih ruwet daripada benang kusut. Mereka cuma peduli pada matahari dan air. Hidup mereka sederhana: tumbuh. Tumbuh aja.

Mereka mengajarkan kepada kita soal ketahanan. Jadi lunak waktu hujan deras datang biar nggak patah, tapi kembali tegak begitu badai berakhir. Mereka mengajarkan kesabaran. Tumbuh itu proses yang nggak instan, nggak bisa dipaksa, butuh fondasi kuat di bawah permukaan.

Di 50 meter itu, aku bukan lagi karyawan yang harus buru-buru siapin presentasi jam sembilan. Aku jadi penjelajah kecil yang lagi lewati kerajaan hijau mini. Rumput-rumput itu adalah rakyatnya, yang bisikin semangat, “Hai, selamat pagi. Hari ini kita tumbuh lagi, ya.”

Lalu, ketika sampai di pintu gedung, rasanya seperti baru selesai meditasi kecil. Beban lebih ringan. Pikiran lebih jernih. Aku siap jadi manusia kantoran lagi, karena baru aja jadi manusia seutuhnya—walau cuma 50 meter dan 2 menit.

Jadi, kalau ada yang nanya, “Lo kok betah banget sih di kantor itu?” Aku cuma akan senyum. “Karena di sana, rumputnya masih tumbuh dengan baik.” Dan biarin aja mereka pikir aku udah gila. Dan itu adalah alasan yang paling waras yang pernah aku miliki. Aku baik-baik saja dengan itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *