
Beberapa waktu lalu, di sekolah kami, SD Al Muslim Bekasi, kedatangan 2 alumni. Mereka adalah siswa tahun kedua saya mengajar disini yaitu tahun ajaran 2005-2006. Saat itu saya mengajar di kelas 1 Ali. Sekarang mereka berdua sudah menjadi anak muda yang membuat pangling. Maklumlah, saya mengajar mereka ketika mereka kelas 1 SD. Sekarang mereka berdua sudah bekerja. Nama mereka adalah Ali dan Ichan. Ali sudah bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu PT di Cikarang dan Ichan sudah menjadi seorang dokter di Palembang.
Mereka datang ke sekolah untuk bernostalgia tentang masa-masa mereka sekolah di SD ini beberapa tahun lalu. Mereka sedang berbincang-bincang dengan salah seorang guru di lantai 1 ketika saya turun. Saya langsung mengenali Ali karena dia adalah siswa saya di Kelas 1 waktu itu. Sedangkan Ichan tidak langsung saya kenali karena dia adalah siswa kelas 1 yang lain. Bukan kelas saya. Oh iya, sekolah kami memiliki kelas paralel untuk tiap level kelas. Contoh ada empat kelas untuk kelas 1, empat kelas untuk kelas 2 dan seterusnya. Jadi total ada dua puluh empat kelas di sekolah kami untuk kelas 1 sampai kelas 6.
Mereka berdua bercerita dengan bersemangat dan tertawa-tawa geli kala mengingat kejadian-kejadian yang mereka alami ketika masih berada dibangku kelas 1 SD. Ali tidak banyak berubah secara karakter menurut saya. Dia masih tetap ceria, ramah dan sopan. Dia adalah anak yang mudah bergaul dengan teman-temannya. Saya masih bisa mengingat dengan jelas senyumnya yang hangat Ketika dia masih duduk di kelas 1 SD.Mereka bercerita kepada kami (saya dan bu Mar’ah) tentang kegiatan mereka saat ini, tentang pekerjaan mereka. Ichan sekarang tinggal di Palembang karena dia bekerja sebagai dokter disana. Sementara Ali tinggal di Cikarang Bekasi.
Saya teringat suatu kejadian dulu saat Ali kelas 1. Dia menangis dengan keras dan teman-temannya mengerubunginya. Saya segera menghampirinya dan bertanya kenapa dia menangis. Tapi dia tidak menjawab malah tertawa lebar dan berkata bahwa dia hanya pura-pura saja. Teman-temannya tertawa mendengar ucapannya dan sayapun ikut tertawa, karena dia benar-benar sukses “menipu” kami semua dengan akting nangisnya.
Cerita seperti ini mungkin terdengar sepele dan hanyalah kejadian biasa dalam keseharian kami di sekolah bersama anak-anak. Tapi disinilah kehangatan, persahabatan dan saling memperhatikan dan menyayangi itu terbentuk. Mereka berlatih dan terlatih untuk sadar akan lingkungan, orang sekitar dan belajar berempati pada apa yang terjadi dengan temannya.
Dan kini, melihat Ali dan Ichan yang telah tumbuh menjadi orang dewasa dan sudah bekerja, saya merasa keceriaan yang dulu mereka miliki tetap ada. Mereka tetap menjadi pribadi yang baik, sopan dan membawa energi positif bagi orang-orang disekitarnya.
Berbeda dengan Ali, saya tidak terlalu banyak mengingat tentang Ichan. Karena dia adalah anak kelas 1 di kelas lain. Saya hanya ingat wajahnya. Seingat saya dia juga dulu anak yang ceria. Sekarang dia telah menjadi seorang dokter. Sebuah profesi yang mulia. Yang membutuhkan dedikasi tinggi, empati dan kerja keras.

Sungguh saya bahagia melihat mereka berdua. Mereka menempuh dua jalur yang berbeda tapi membawa nilai yang sama, yaitu nilai kebaikan, semangat dan ketulusan. Nilai-nilai yang selalu kami tanamkan kepada anak-anak didik kami. Walau dengan segala kekurangan dan keterbatasan kami, Tapi kami berharap bahwa ada sedikit nilai dan kenanga baik yang diingat oleh mereka dan mereka pegang selama hidup mereka.
Sebagai seorang guru, saya merasa bangga dan terharu melihat mereka berdua. Waktu berlalu tanpa terasa. Murid datang dan pergi. Namun segala kenangan tentang mereka akan selalu menjadi pengingat bagi saya. Bahwa setiap anak punya potensinya masing-masing. Dan tugas kami adalah membantu mereka menggali potensi itu. Semoga Allah mudahkan dan kuatkan kami mengemban amanah ini.
