Awal tahun pelajaran ini, saya berdiri di depan kelas dengan perasaan yang berbeda. Bukan lagi hanya spidol dan white board yang menemani, melainkan sebuah Laptop di tangan saya dan puluhan tablet samsung di meja siswa. Sebagai guru matematika kelas 6 SD Al Muslim, saya sadar bahwa tantangan mengajar tidak lagi sekadar bagaimana menjelaskan konsep bilangan bulat, tetapi bagaimana memastikan pembelajaran tetap bermakna di tengah arus digital yang begitu cepat.
Jujur saja, perubahan ini tidak selalu mudah. Saya adalah guru yang tumbuh bersama buku paket dan latihan soal di kertas. Ketika sekolah mulai mendorong pemanfaatan pembelajaran digital berbasis tablet, muncul banyak pertanyaan di benak saya. Apakah saya mampu beradaptasi? Apakah teknologi ini benar-benar membantu siswa memahami matematika, atau justru membuat mereka terdistraksi?
Namun, satu hal yang saya yakini: setiap tantangan selalu membawa peluang, selama kita mau belajar dan membuka diri.
Belajar Bersama Teknologi
Tantangan pertama yang saya hadapi adalah menyesuaikan diri dengan media pembelajaran digital. Menguasai aplikasi, menyiapkan materi interaktif, hingga memastikan koneksi berjalan lancar menjadi bagian dari rutinitas baru. Ada kalanya saya merasa tertinggal satu langkah dari siswa yang justru lebih cepat mengeksplorasi fitur-fitur di tablet mereka.
Namun, di situlah proses belajar sesungguhnya terjadi—bukan hanya bagi siswa, tetapi juga bagi saya sebagai guru. Saya belajar bahwa peran guru di era digital bukan lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator dan pendamping. Saya tidak harus tahu segalanya terlebih dahulu; saya bisa belajar bersama siswa.
Matematika yang Hidup dan Bermakna
Salah satu pengalaman paling berkesan adalah saat mengajarkan materi bilangan bulat. Selama ini, bilangan positif dan negatif sering dianggap abstrak oleh siswa. Angka-angka itu terasa jauh dari kehidupan mereka. Maka, saya mencoba pendekatan berbeda dengan memanfaatkan aplikasi digital yaitu geogebra yang saya masukkan link nya ke digislamic dan siswa bisa membukanya di tablet Samsung.
Sebagai penilaian psikomotor, siswa saya arahkan untuk membuat gambar atau ilustrasi tentang penggunaan bilangan bulat dalam kehidupan sehari-hari menggunakan Canva. Ada siswa yang menggambarkan suhu di daerah dingin dan panas, ada yang membuat ilustrasi naik-turun lift di gedung bertingkat, bahkan ada yang mengaitkannya dengan untung dan rugi dalam jual beli.

Hasilnya di luar dugaan. Siswa tidak hanya memahami konsep bilangan bulat, tetapi juga mampu mengekspresikannya secara visual dan kreatif. Mereka berdiskusi, saling memberi masukan, dan bekerja sama dalam kelompok kecil. Dari sini saya belajar bahwa matematika bisa hidup dan dekat dengan dunia siswa, asalkan diberi ruang untuk dieksplorasi.
Untuk memperdalam pemahaman konsep dan latihan soal, kami menggunakan aplikasi GeoGebra. Siswa dapat memanipulasi garis bilangan secara langsung, mencoba berbagai soal, dan melihat hasilnya secara instan. Proses ini melatih ketelitian, logika, dan rasa ingin tahu mereka. Semua tugas dikerjakan menggunakan tablet dan dikumpulkan melalui email guru—sebuah kebiasaan baru yang melatih kemandirian dan tanggung jawab siswa.

Menumbuhkan Karakter dan Kompetensi
Di balik semua tantangan teknis, saya melihat pertumbuhan karakter siswa yang luar biasa. Mereka belajar berkolaborasi, saling membantu ketika ada teman yang kesulitan menggunakan aplikasi, dan berani menyampaikan ide. Mereka juga belajar mengelola waktu, mengikuti instruksi digital, serta bertanggung jawab terhadap tugas yang dikirimkan secara mandiri.
Bagi saya pribadi, proses ini menajamkan kompetensi profesional sebagai guru. Saya terdorong untuk terus belajar, mengikuti pelatihan, dan mengevaluasi pembelajaran. Tantangan digital justru memaksa saya keluar dari zona nyaman dan melihat pembelajaran dari sudut pandang yang lebih luas.
Refleksi di Akhir Perjalanan
Satu tahun ini mengajarkan saya bahwa tantangan bukanlah penghalang, melainkan pintu menuju pembelajaran yang lebih bermakna. Teknologi bukan musuh guru, tetapi mitra yang dapat memperkaya proses belajar jika digunakan dengan bijak. Sebagai guru matematika kelas 6 SD Al Muslim, saya bersyukur dapat melalui perjalanan ini bersama siswa-siswa saya. Dari layar tablet hingga diskusi hangat di kelas, saya menyaksikan bagaimana tantangan berubah menjadi peluang—peluang untuk menumbuhkan karakter, mengasah kompetensi, dan menyiapkan generasi yang siap menghadapi masa depan. Karena pada akhirnya, setiap perjalanan menguatkan karakter, menajamkan kompetensi, dan layak untuk dibagikan.
