Jum’at, 26 September 2025 pukul 19.22, handphone berbunyi. Ternyata pesan masuk dari seorang murid perempuan saya. Pesan pertamanya salam dan sapa, dilanjut dengan “maaf ibu, mau tanya, Minggu depan free nya hari apa? Aku mau cerita”.

Saya menawarkan waktu di hari Selasa disela waktu pelajaran Leadership, balasan singkat darinya “tapi gapapa ganggu waktunya sebentar?”, jawaban yang saya berikan “tidak, bercerita adalah salah satu cara kita belajar”.

Rasa penasaran menggelitik, ingin tahu apa yang akan dibahas di obrolan itu membuat saya mengirim pesan ”Jika boleh tahu, tentang apa?”. Hening sejenak, saya menunggu 25 menit untuk menerima balasan.

“Tentang diri aku sendiri Bu”

“Aku lelah aja”

Saya coba untuk memberikan motivasi untuk menenangkan meski sejenak “Wajar Nak jika kita merasa lelah. Jadi rasa lelah itu jangan ditolak ya, diterima, diakui ke diri sendiri bahwa saat ini kamu lelah. Bicara sama diri sendiri ‘kita sedang lelah ya, kita terima bersama dan kita lalui bersama”

Berselang dua menit, saya menerima balasan “tapi saya merasa tidak pantas untuk merasakan lelah, karena hidup saya tuh gak ada hal yang membuat saya pantas merasakan lelah Bu”.

Saya terdiam sejenak, teringat putri saya dan terlintas di pikiran “Bagaimana jika kondisi ini terjadi pada putri sulung saya”. 

“Siapa bilang kamu tidak melakukan hal-hal yang tidak membuat lelah hati. Kamu sudah bertahan sampai detik ini, kamu sudah mencoba menolak rasa lelah itu, kamu menerima segala sesuatu yang membuat kamu sedih, kamu tumbuh menjadi anak baik.. Bukannya itu semua adalah usaha”.

“Lelah dan lelah bukan sekedar fisik neng, batin/hati kita juga bisa merasa lelah. Ketika kamu menolak rasa lelah karena kamu merasa tidak pantas mengeluh lelah/lelah, maka sebenarnya itu adalah usaha kamu untuk tetap tegar. Kamu menolak rasa lelah itu atas nama ketidakpantasan, dan itu akan sangat melelahkan batin mu Neng”, balas saya.

“Tapi wajar kan ya Bu kalau kita lelah”, tanya nya kembali.

Dengan senyum saya mengetik “Sangat wajar, rasa lelah itu adalah rasa yang Allah SWT berikan kepada setiap makhluk, karena makhluk punya keterbatasan. Menurut Ibu, rasa lelah itu adalah salah satu bentuk anugrah, karena rasa lelah itu membuat Ibu harus istirahat, karena lelah itu kita belajar jadi lebih kuat, karena lelah itu kita belajar untuk lebih menyayangi diri kita”

“Tapi kalau karena rasa lelah itu membuat kita benci dengan diri sendiri salah tidak Bu?”

Kata “membenci diri sendiri” membuat saya terdiam, saya putuskan untuk mengirimkan pesan suara. Kami berbalas pesan suara. 

Dua jam kami berbincang di chat WA, kami sepakat untuk melanjutkan perbincangan kami di hari Selasa, 30 September 2025. 

Di Akhir chat kami, “Sayang Ibu banyak banyak”, dan saya balas “Sayang (NN) banyak banyak” dan dibalas nya dengan memberikan emoji love.

Saya menutup ruang chat dengan siswi tersebut, saya beranjak dari tempat duduk menuju kamar putri saya, saya usap kepalanya dan saya katakan “Mama mau peluk Kakak”.

Pesan yang tidak sempat saya kirimkan kepada siswi itu masih tersimpan dan akan saya berikan ketika kami berbincang langsung “Terima kasih karena bersedia berbagi cerita kepada Ibu, Ibu berdoa semoga dirimu menjadi anak yang lebih kuat dari sebelumnya.”

Dari cerita atau curhat siswa siswi kepada saya, saya banyak belajar dari mereka. Belajar tentang masalah yang mereka alami, belajar tentang kuatnya mereka, belajar memahami perasaan seusia mereka, belajar memotivasi, belajar menjadi pendengar yang baik. Dan Alhamdulillah semua itu membantu saya untuk belajar mengasuh dan membersamai putra putri saya.

Saya pernah mendengar orang lain mengatakan bahwa tugas guru bukan sekedar menyampaikan materi atau ilmu, namun juga membersamai siswanya untuk mempelajari keterampilan hidup dengan harapan mereka bisa menjalani hidup dengan sebaik mungkin. Saya setuju akan pendapat itu.

Rabu, 01 Oktober 2025

Ita Anggraini

2 thoughts on ““Sayang Ibu banyak-banyak””
  1. MasyaAlllah bu Ita sangat inspiratif sekali tulisanya, semangat kita belajar juga dengan murid murid kita ya bu Ita

Leave a Reply to Ita Anggraini, SE. Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *