Setiap kali mendengar kata “sekolah”, entah kenapa ingatan kolektif kita seringnya lari ke pemandangan yang sama: guru menjelaskan di depan kelas dengan intonasi yang lebih monoton dari suara Google Maps, murid di barisan belakang yang sudah masuk ke alam astral, dan jam dinding yang pergerakan jarumnya terasa lebih lambat dari laju pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Kita semua pernah di sana. Terjebak dalam sebuah siklus yang disebut “belajar”, tapi rasanya lebih mirip kerja paksa tanpa upah. Disuruh menghafal nama latin tumbuhan yang seumur hidup mungkin hanya akan kita temui di soal ujian. Dipaksa mengingat tanggal pertempuran yang bahkan para pejuangnya sendiri mungkin sudah lupa saking banyaknya.
Hasilnya? Angka di rapor. Sebuah digit yang konon katanya menentukan masa depan, tapi seringnya hanya jadi penentu durasi omelan orang tua di rumah. Setelah itu, apa yang kita hafal menguap lebih cepat dari kenangan bersama mantan.
Sementara itu, di luar jam sekolah, anak-anak yang sama bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar. Bukan untuk belajar, tentu saja. Melainkan untuk grinding di Mobile Legends, menyelesaikan quest di Genshin Impact, atau membangun peradaban di Minecraft. Mereka rela begadang, rela tidak makan, hanya untuk menaikkan level, mendapatkan item langka, atau sekadar mengalahkan boss yang level kesulitannya sudah macam skripsi.
Mereka fokus, mereka termotivasi, dan yang paling penting, mereka senang.
Di sinilah letak kebodohan fundamental sistem pendidikan kita. Sekolah dan game pada dasarnya punya tujuan yang mirip: menyelesaikan serangkaian tugas untuk mencapai level yang lebih tinggi. Bedanya, yang satu didesain oleh orang-orang yang mungkin terakhir kali merasa senang adalah saat libur Lebaran, sementara yang satu lagi didesain untuk membuat kita ketagihan.
Lalu, kenapa kita tidak merampok saja konsepnya? Kenapa sekolah tidak diubah jadi sebuah game RPG (Role-Playing Game) raksasa?
Coba bayangkan skenarionya.
Alih-alih “nilai harian”, kita punya Experience Points (XP). Setiap kali berhasil menjawab pertanyaan guru, menyelesaikan soal di papan tulis, atau membantu teman yang kesulitan, kita dapat XP. Kumpulkan XP yang cukup, maka kita akan “Naik Level”. Bukan lagi “Naik Kelas” yang terasa seperti formalitas tahunan yang membosankan.
Pekerjaan Rumah (PR) dan tugas-tugas lainnya bisa diubah menjadi Main Quest dan Side Quest. Menyelesaikan rangkuman bab 5 adalah Main Quest yang wajib. Tapi mengerjakan soal-soal adalah bonus atau membuat presentasi kreatif adalah Side Quest yang memberikan reward lebih besar, bisa item tambahan berupa nilai plus, atau badge kehormatan digital yang bisa dipamerkan di profil siswa.
“Selamat! Anda mendapatkan Badge: Penakluk Rumus Integral!”. Keren, kan? Jauh lebih membanggakan daripada sekadar paraf merah di buku tugas.
Ujian Akhir Semester? Itu adalah Boss Dungeon. Para siswa harus bekerja sama dalam party (kelompok belajar) untuk menyusun strategi mengalahkan “Monster Logaritma” atau “Raja Pait Gajah Mada” dalam ujian sejarah. Gurunya? Blio bukan lagi sekadar penyampai materi, tapi seorang Game Master yang merancang alur cerita, memberikan petunjuk, dan sesekali melempar raid boss dadakan berupa kuis tanpa pemberitahuan.
Sistem penjurusan IPA/IPS yang kaku itu bisa diganti dengan Skill Tree. Siswa bisa mengalokasikan poin kemampuannya sesuai minat. Suka Fisika dan Matematika? Fokuskan poinmu pada skill tree “Mage of Science”. Lebih tertarik pada Sastra dan Sejarah? Jadilah seorang “Bard of Humanities”. Dengan begini, setiap siswa membangun “karakter” uniknya sendiri, bukan dicetak massal seperti produk pabrik.
Tentu saja, akan ada yang mencibir. “Nanti anak-anak jadi kecanduan main-main, bukan belajar!”
Lho, sebentar. Bukankah masalahnya selama ini adalah anak-anak menganggap belajar itu beban dan main itu kesenangan? Gamifikasi menjembatani jurang itu. Konsep ini tidak mengubah substansi belajarnya, tapi membungkusnya dalam sebuah mekanisme yang membuat otak kita melepaskan dopamin—hormon kebahagiaan. Persis seperti saat kita berhasil mendapatkan Savage atau menemukan secret loot.
Pada akhirnya, belajar adalah tentang progres, tentang merasa lebih pintar dari hari kemarin, dan tentang kepuasan menaklukkan tantangan. Semua itu adalah elemen inti dari sebuah game yang bagus.
Sekolah kita saat ini, terus terang saja, adalah game yang didesain dengan buruk. Aturannya membosankan, reward-nya tidak menarik, dan gameplay-nya repetitif. Tidak heran jika banyak pemainnya yang memilih AFK (Away From Keyboard) di tengah permainan.
Jadi, Pak Nadiem dan para petinggi kurikulum yang terhormat, daripada gonta-ganti nama kurikulum yang isinya itu-itu saja, mbok ya coba dipikirkan. Mungkin sudah saatnya berhenti memaksa ikan untuk memanjat pohon, dan mulai membangun sebuah akuarium raksasa yang seru untuk dijelajahi. Siapa tahu, dengan begitu, tidak ada lagi siswa yang tertidur di kelas karena mereka terlalu sibuk grinding XP untuk menjadi sang “Juara Kelas” level selanjutnya.