Semakin kesini semakin  menyadari bahwa ruang belajar siswa tidak lagi hanya terdapat di kelas, buku, atau papan tulis. Ruang belajar mereka kini bercabang menjadi dua realitas yaitu pada dunia nyata dan dunia layar. Di antara kedua dunia itu, ada satu fenomena yang diam-diam tetapi kuat mengendalikan pikiran siswa  yaitu FOMO ( Fear of Missing Out ), kalimat fomo sangat trending dikalangan remaja bahkan anak anak pun tahu mengenai apa aitu fomo,  rasa takut tertinggal dari apa yang sedang terjadi di media sosial, pertemanan, atau trend digital. Fenomena ini bukan sekadar istilah psikologi modern, tetapi kenyataan yang saya lihat setiap hari di ruang kelas di saat saya mengajar.

Pada saat mengajar  dan memulai pembelajaran Saya pernah bertanya dengan satu pertanyaan sederhana pada siswa kelas X:
“Siapa yang pernah membuka ponsel saat belajar hanya karena takut ketinggalan notifikasi?” Hampir 30% mrngsngkst tangan bahkan ada yang menjawab sambil tertawa, “Bu, walaupun lagi ujian kadang tetap pengen tahu story siapa yang update duluan.” Saat itu saya sadar bahwa yang kita hadapi bukan hanya distraksi, tapi kebutuhan emosional untuk tetap terhubung.

Fomo berawal dari sekedar rasa ingin tahu yang amat sangat , FOMO bukan muncul karena siswa ingin bermain. Tetapi ia muncul karena ketakutan, takut tidak tahu gosip terbaru, takut terlambat mengetahui trend terbaru , takut tidak membalas chat grup, takut kehilangan eksistensi. Media sosial memberi mereka ruang untuk “hadir”, tetapi pada saat yang sama menciptakan kecemasan untuk terus online. Bagi sebagian siswa, tertinggal informasi di kelas tidak lebih mengganggu dibanding tertinggal story Instagram yang sudah hilang dalam 24 jam.

Ada sebab pasti ada akibat. Akibatnya, proses belajar menjadi terganggu bukan karena pelajaran sulit, melainkan karena pikiran tidak pernah benar-benar hadir. Mereka duduk di kelas, tetapi perhatian mereka berada di layar yang disembunyikan di bawah meja. Mereka mendengar guru berbicara, tetapi notifikasi di ponsel terdengar lebih penting dibanding konsep fisika atau materi sejarah yang harus dipahami.

Apakah FOMO dapat mengubah cara siswa belajar ???? Pertama, yang pastinya tentang rentang fokus semakin pendek. Siswa yang dulu mampu menyimak 20–30 menit, kini gelisah hanya dalam 5 menit tanpa ponsel. Mereka terbiasa dengan informasi cepat, visual, dan instan dan  kontras dengan pembelajaran yang membutuhkan waktu, logika, dan pemahaman bertahap. Kedua, belajar tidak lagi menjadi proses reflektif, tetapi kompetisi kecepatan yang penting bukan lagi memahami, tetapi menyelesaikan tugas secepat mungkin agar bisa kembali ke dunia online. Ketiga, hadir fisik tidak lagi berarti hadir mental. Banyak guru tidak menyadari bahwa siswa bisa tampak tenang, tetapi pikirannya sedang berada di TikTok, bukan di kelas. Mereka hadir secara tubuh, tetapi tidak hadir secara kesadaran dan yang paling menghawatirkan adalah Ketika FOMO mengubah belajar menjadi beban emosional. Siswa merasa bersalah saat belajar karena mereka merasa “ketinggalan dunia luar”, tetapi merasa bersalah juga ketika bermedia sosial karena mereka “meninggalkan tugas”. Mereka hidup dalam lingkaran seolah tidak pernah cukup.

Teknologi tidak mungkin dimusuhi oleh para guru karena melarang bermain gadget di kelas tidak menyelesaikan masalah. Justru akan menciptakan perlawanan diam-diam. Siswa hari ini tidak bisa dipisahkan dari dunia digital  yang perlu diubah bukan alatnya, tetapi hubungan mereka dengan alat itu. Maka, saya mulai menggunakan pendekatan baru. Alih-alih memberi nasihat moral, saya mengajak mereka berdiskusi: “Kenapa kamu takut ketinggalan notifikasi, tapi tidak takut ketinggalan materi yang memengaruhi masa depanmu?” Pertanyaan reflektif seperti ini membantu siswa menyadari bahwa FOMO bukan hanya tentang sosial media — tetapi tentang kontrol diri. Saya juga mulai mengintegrasikan teknologi ke dalam pembelajaran: kuis berbasis aplikasi, video analisis, kelas yang dimulai dengan fenomena viral yang dikaitkan dengan materi. Dengan begitu, siswa tidak merasa belajar dan dunia online adalah dua hal yang bertentangan, tetapi saling terhubung. Guru bukan lagi sekadar penyampai pengetahuan, tetapi penjembatan antara dunia digital dan dunia akademik. Jika guru tidak memahami FOMO, guru akan kehilangan kontak dengan siswa. Hari Guru Nasional bukan hanya perayaan profesi, tetapi momen refleksi Apakah kita masih mengajar siswa seperti generasi lama, padahal mereka hidup dalam realitas baru? Jika guru ingin siswa menghormati pembelajaran, maka guru harus terlebih dahulu menghormati dunia yang mereka tinggali  yng juga termasuk dunia digital yang membentuk cara berpikir mereka. FOMO bukan musuh  tetapi sinyal. Ia memberi tahu kita bahwa siswa bukan tidak mau belajar karena mereka hanya belum menemukan ruang belajar yang mampu menyaingi daya tarik dunia digital. Dan di sinilah guru masa kini diuji tetapi bukan sekadar menguasai materi, tetapi memahami manusia yang mempelajarinya.

`           Ketika kita ingin mengembalikan fokus siswa, bukan dengan merampas ponsel mereka, tetapi dengan membantu mereka menemukan kembali makna belajar. Belajar bukan sekadar tugas sekolah — tetapi cara bertahan dan hidup menemukan jati diri, dan mengelola dunia yang terus bergerak lebih cepat daripada kita ajarkan. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling mampu baik di kelas, di dunia digital, maupun dalam dirinya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *