Sekolah sering dipahami sebagai institusi untuk mentransfer pengetahuan, menyampaikan kompetensi akademik, dan menyiapkan peserta didik agar mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Namun, seiring saya menjalani peran sebagai guru, terutama pada jenjang sekolah dasar, saya menyadari bahwa pembelajaran bukan semata proses kognitif. Ada dimensi lain yang jauh lebih halus, namun mendasar: yaitu bagaimana guru hadir untuk merawat keseharian anak dan kemanusiaan mereka yang sedang bertumbuh. Di ruang kelas, setiap hari saya berhadapan dengan anak-anak yang membawa cerita, pengalaman, harapan, dan kadang beban yang tidak tampak. Mengajar, pada akhirnya, bukan hanya mengenai apa yang saya sampaikan, melainkan mengenai bagaimana saya hadir.

Keseharian di ruang kelas menunjukkan bahwa anak bukan hanya pelajar. Mereka adalah individu yang hidup di dalam proses menjadi. Mereka belum selesai dibentuk, namun sudah membawa sesuatu yang perlu dihargai: keunikan, sensitivitas, rasa ingin tahu, dan kerentanan. Oleh sebab itu, ketika saya memasuki kelas setiap pagi, saya tidak hanya bertanya, “Hari ini kita belajar apa?”, tetapi juga bertanya, “Hari ini siapa yang mereka butuhkan saya menjadi?” Pertanyaan tersebut mengubah cara saya memandang profesi guru. Dari sosok yang mengarahkan, saya berlatih menjadi sosok yang menyertai.

Saya mengajar di kelas dua sekolah dasar. Pada usia itu, dunia mereka masih sederhana tetapi penuh intensitas. Sebuah hal kecil dapat membahagiakan mereka; hal kecil lain dapat pula membuat mereka terdiam lama. Ketika seorang anak datang tanpa senyum, ketika ada yang duduk dengan bahu menurun, atau ketika ada yang berbicara lebih cepat dari biasanya, saya belajar melihat itu bukan sebagai gangguan proses pembelajaran, tetapi sebagai bagian dari pembelajaran itu sendiri. Anak-anak tidak datang dalam keadaan netral. Mereka membawa rumah, interaksi, dinamika keluarga, pengalaman yang belum dapat mereka jelaskan dengan bahasa yang teratur. Mereka membawa hati.

Dalam situasi seperti itu, guru berperan sebagai figur yang menghadirkan rasa aman. Keamanan emosional adalah fondasi dari belajar. Anak yang merasa ditolak, tertekan, atau tidak didengarkan akan kesulitan menerima pengetahuan baru. Sebaliknya, anak yang merasa diterima dan dihargai akan lebih terbuka untuk mengeksplorasi, bertanya, keliru, dan mencoba lagi. Di sinilah merawat keseharian berarti: memberikan ruang untuk anak-anak hadir sebagaimana mereka ada, tanpa tuntutan untuk selalu siap, selalu kuat, selalu ceria.

Saya mulai menyadari bahwa ritme kelas perlu dibentuk dengan memperhatikan kebutuhan anak. Kelas tidak harus dimulai dengan instruksi. Terkadang, sebelum membuka buku atau memulai penjelasan, saya memberi waktu beberapa menit untuk duduk bersama. Kami berbicara ringan atau bahkan tidak berbicara sama sekali. Hanya memberi ruang agar hati tiba sebelum pikiran bekerja. Dalam keheningan yang sederhana itu, terdapat bentuk pendidikan yang penting: mengajarkan bahwa manusia berhak berhenti sebentar.

Dengan cara itu, saya belajar bahwa guru bukan hanya sumber pengetahuan, tetapi penjaga iklim emosional kelas. Kehadiran guru yang tidak menghakimi, yang mau mendengar, dan yang memberi kesempatan, dapat menjadi jangkar yang membuat anak merasa cukup aman untuk tumbuh. Mengajar, dalam konteks ini, menjadi praktik merawat manusia.

Namun merawat bukan berarti memanjakan. Merawat berarti mendampingi proses, bukan menyelesaikan masalah anak. Anak-anak perlu belajar kesabaran, pemulihan, cara berbicara, cara meminta tolong. Tugas guru adalah memastikan mereka tidak menjalani proses itu sendiri. Ketika seorang anak marah atau menangis, saya tidak langsung menenangkan dengan kata-kata, “Sudah, jangan sedih.” Kata-kata seperti itu, meski terdengar baik, sering kali menutup kesempatan anak mengenali perasaannya sendiri. Sebaliknya, saya memberi validasi, “Ibu melihat kamu sedang sedih. Kita boleh duduk dulu.” Perlahan, anak belajar bahwa perasaan itu bukan sesuatu yang harus disembunyikan. Pendidikan pun berlangsung pada tingkat yang sangat manusiawi.

Seiring waktu, saya juga menyadari bahwa proses ini tidak hanya membentuk anak; ia juga membentuk saya. Anak-anak, dengan kejujuran dan spontanitas mereka, mengajari saya untuk tidak selalu terburu-buru, untuk memahami sebelum menyimpulkan, untuk mengelola emosi dengan lebih bijaksana. Saya tidak hanya mengajarkan, saya pun belajar. Ruang kelas menjadi tempat saling tumbuh.

Ada momen tertentu yang menguatkan keyakinan ini. Ketika seorang anak mendekat hanya untuk berkata, “Bu, aku capek,” tanpa perlu penjelasan tambahan, itu menunjukkan bahwa ia mempercayai ruang ini. Ia tahu bahwa kelas adalah tempat ia boleh menjadi manusia kecil yang apa adanya. Ketika teman-temannya merespons situasi itu dengan memberi ruang, bukan ejekan, itu menunjukkan bahwa mereka sedang mempraktikkan empati tanpa saya harus memaksakan dengan teori. Itulah pendidikan yang hidup.

Pendidikan yang memanusiakan bukan hal besar yang spektakuler. Ia terjadi dalam keseharian: cara guru menyapa, cara guru menjawab pertanyaan, cara guru memberi jeda, cara guru hadir sepenuh hati. Mengajar sebagai praktik merawat berarti menyadari bahwa setiap interaksi adalah pendidikan, bahkan yang tampak sepele. Apa yang kita lakukan berulang di kelas akan membentuk cara anak-anak melihat diri, orang lain, dan dunia.

Jika suatu hari nanti anak-anak ini tumbuh dewasa, mereka mungkin tidak mengingat semua konsep akademik yang saya ajarkan. Namun jika mereka mengingat bahwa pernah ada ruang di mana mereka aman untuk menjadi diri sendiri, di mana mereka belajar berhenti sebelum melanjutkan, di mana mereka mengalami bahwa manusia tidak harus sempurna untuk diterima, maka itulah pendidikan yang sesungguhnya.

Mengajar sebagai praktik merawat keseharian dan kemanusiaan anak adalah proses yang pelan, tidak terburu, dan sering kali tidak terlihat hasilnya secara langsung. Namun justru di situlah nilai utamanya. Pendidikan bukan mengenai percepatan, tetapi pendampingan. Bukan mengenai hasil instan, tetapi kedalaman yang tumbuh dalam waktu. Pada akhirnya, menjadi guru berarti berkomitmen untuk hadir: hadir dalam kata, dalam perhatian, dalam keheningan, dalam kesalahan, dalam tumbuh yang tidak selalu rapi. Karena pada dasarnya, kita tidak hanya membentuk pelajar. Kita sedang menyertai manusia dalam proses menjadi dirinya. Dan itu adalah pekerjaan yang sangat bernilai.


Safitri Amelia Desti, S.Pd.

“Pendidikan tidak hanya membentuk kemampuan berpikir, tetapi juga kemampuan untuk merasakan. Dan terkadang, hati yang dirawat dengan lembut menjadi pelajaran yang paling lama bertahan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *