
Setahun terakhir ini terasa seperti perjalanan panjang yang penuh kejutan. Terkadang lembut, kadang menguji, tetapi di balik itu semua selalu memberikan ruang untuk terus tumbuh. Di dunia pendidikan, setiap tantangan muncul dengan wajah berbeda: ada yang datang perlahan, ada yang tiba-tiba, ada pula yang diam-diam mengubah cara kita memandang diri sendiri. Dari semua itu, Saya belajar bahwa menjadi seorang guru bukan hanya sekedar menjalankan tugas, tetapi proses menemukan kekuatan baru yang mungkin sebelumnya tidak saya sadari.
Hari-hari yang Saya lalui sering kali menjadi cermin. Ketika ritme kerja berubah, ketika tanggung jawab semakin bertambah, ketika tanggung jawab bertambah, ketika situasi menuntut Saya untuk lebih sabar dan lebih teliti, di situlah karakter dan kompetensi saya ditempa. Tantangan yang awalnya terasa berat justru membuka jalan menuju kemampuan yang lebih matang. Seolah setiap pengalaman ingin berbisik pada Saya, “Kamu bisa berkembang, kalau kamu berani melihat ini sebagai peluang.”
Di sepanjang perjalanan itu, Saya mulai memahami bahwa tumbuh tidak selalu harus keras. Terkadang ia hadir lewat momen-momen sederhana: kehadiran Saya di kelas, interaksi singkat dengan murid, atau percakapan kecil dengan rekan kerja. Semua itu membawa pelajaran berharga yang memperhalus hati Saya dan memperkuat langkah Saya.
Ketika mengajar di sini, saya belajar bahwa dunia pendidikan bukan hanya sekedar ruang kelas dan jadwal mengajar. Tetapi, lanskap luas yang penuh ritme, terkadang riuh, kadang tenang, namun selalu menyimpan hikmah di setiap sudutnya. Setiap langkah yang Saya ambil terasa seperti benang-benang halus yang perlahan menenun cara berpikir sebagai seorang guru. Di sini juga, Saya merasakan bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mencerdaskan, tetapi juga membina karakter, baik karakter peserta didik, maupun karakter saya sendiri.
Jejak Sunyi dalam Riuhnya Pengabdian
Mengajar di SD Al Muslim Tambun, membuat Saya paham bahwa ruang kelas adalah pusat dari perjalanan seorang guru. Di sana, setiap detik kecil, dari lembar kerja yang tercecer, meja yang harus dirapikan, hingga anak-anak yang bergerak penuh energi, membentuk rutinitas yang tidak pernah statis. Saya sering menemukan diri saya yang menyapu sisa makanan, merapikan kelas, atau memastikan anak-anak kembali fokus setelah kegiatan di luar kelas. Semua itu terasa sederhana, tetapi di situlah nilai pengabdian bertumbuh.
Ada hari-hari ketika kegiatan anak-anak berlangsung di Aula, bersamaan dengan tugas-tugas lain di kelas. Saya belajar membaca situasi, memutuskan apa yang paling diperlukan anak-anak saat itu, dan memastikan setiap aktivitas berjalan tertib. Ada waktu dimana ketika Saya mengawasi dari jarak yang berbeda, atau memastikan anak-anak bersiap dengan rapi sebelum mengikuti kegiatan. Dari sini Saya mulai memahami: peran seorang guru tidak selalu terlihat, tetapi ia selalu bekerja.
Mendampingi siswa bukan hanya soal hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara emosional. Saya menemukan bahwa kehadiran penuh perhatian justru terasa paling kuat saat Saya benar-benar memahami kebutuhan mereka, baik di kelas maupun ketika mereka berada di Aula. Saya belajar menjaga ritme mereka sambil tetap menjaga ritme kerja Saya sendiri.
Dari dinamika itu, saya memahami bahwa profesionalitas bukan tentang menunjukkan apa yang tampak, tetapi tentang merawat apa yang harus tetap berjalan. Menghadirkan suasana belajar yang aman dan nyaman, memastikan kelas tetap kondusif, menjaga anak-anak tetap dalam koridor nilai, itulah bagian-bagian pengabdian yang tidak selalu terlihat di permukaan. Pada akhirnya, saya menyimpulkan bagian pertama ini sebagai: “Setiap keputusan kecil, setiap perhatian sederhana, dan setiap kehadiran yang tulus ikut menenun cara Saya memahami arti menjadi guru.”
Waktu yang Mengasah: Belajar Hadir dan Belajar Sabar
Satu tahun ini juga menjadi perjalanan penting dalam memahami bagaimana mengelola waktu sebagai guru. Di sekolah ini, ritme kerja terkadang padat, dan pergantian kegiatan berlangsung dengan cepat. Saya belajar bahwa kedisiplinan bukan hanya tentang jam datang dan jam pulang, tetapi bagaimana saya menempatkan energi dan fokus pada setiap bagian hari.
Ada masa ketika Saya menyadari bahwa menjadi guru bukan hanya tentang hadir sesuai jadwal, tetapi tentang menghadirkan diri dengan kesiapan penuh. Setiap hari membawa ritme yang berbeda, ada yang tenang, ada yang padat, dan Saya belajar menata fokus agar tetap selaras dengan kebutuhan sekolah. Dari proses itu, Saya semakin memahami betapa pentingnya memperhatikan detail-detail sederhana yang mendukung kelancaran pekerjaan, meski sering terasa kecil atau sepele. Semua itu menjadi bagian dari proses bertumbuh secara profesional.
Meski begitu, Saya juga belajar bahwa proses mengasah diri kadang terasa tidak mudah. Ada hari-hari ketika tubuh lelah, atau pikiran teralihkan oleh hal-hal di luar pekerjaan. Ada hari ketika Saya berusaha melakukan yang terbaik, tetapi tetap merasa ada yang kurang. Namun, justru dari “kurang” itulah Saya menemukan ruang pembelajaran baru, yaitu ruang untuk menata ulang prioritas, memperbaiki ritme, dan menerima bahwa guru juga manusia.
Menenun Makna dari Setiap Ujian: Ruang Baru untuk Dewasa dalam Mengajar
Ada masa ketika perjalanan mengajar membuat Saya bercermin lebih jujur: apakah Saya sudah cukup memahami ritme sekolah, rekan kerja, dan anak-anak? Dari momen itulah Saya menyadari bahwa mengajar ternyata bukan hanya tentang menguasai materi, tetapi tentang mengasah kedewasaan dalam diri. Setiap dinamika yang datang, baik yang ringan maupun yang membuat hati terasa berat, memberikan ruang baru untuk belajar di luar buku dan kurikulum.
Proses ini membawa Saya pada satu pemahaman: guru yang baik bukan hanya yang mampu menjalankan instruksi, tetapi yang mampu membaca situasi, menahan ego, dan mengolah perasaan. Ada hari ketika Saya memilih diam untuk menjaga suasana tetap nyaman. Ada hari ketika Saya melatih diri untuk menerima masukan tanpa merasa terluka. Semua itu bukan tanda kelemahan, justru tanda bahwa Saya sedang belajar dewasa.
Setiap ujian kecil yang datang justru membentuk cara pandang baru terhadap profesi ini. Saya tidak hanya belajar mendidik murid, tetapi juga belajar mendidik diri sendiri. Ada kalanya Saya ingin menjawab dengan spontan karena lelah dan emosi, tapi aku memilih menahan diri agar tidak menyakiti siapa pun. Dan dari sikap itu, Saya menemukan versi diri yang lebih tenang.
Perjalanan ini mengajarkan Saya bahwa kedewasaan bukan muncul dari pencapaian besar, tetapi dari kemampuan menata hati setelah setiap momen yang menguji. Saat Saya mampu melihat dinamika sekolah bukan sebagai hambatan tetapi sebagai pelajaran, Saya menemukan kedamaian yang lebih natural dalam bekerja. Saya merasa lebih stabil, lebih peka, dan lebih bijak menempatkan diri.
Kini Saya memahami bahwa tumbuh sebagai guru berarti mengizinkan diri menerima tantangan tanpa membiarkan diri tenggelam di dalamnya. Menjalani hari-hari dengan hati yang tetap lembut, sambil memastikan bahwa profesionalitas tetap berdiri tegak. Dari setiap proses itu, Saya menenun makna baru tentang arti menjadi pribadi yang terus belajar, tidak hanya untuk murid, tetapi juga untuk diri sendiri.
“Mengajar bukan hanya tentang menjadi sempurna, melainkan tentang terus belajar hadir dengan hati yang jujur dan bertumbuh” – Safitri Amelia Desti, S.Pd.
